Aberdeen Optimis Perekonomian dan Pasar Indonesia Masih Positif
berdeen Standard Investments Indonesia mengapresiasi pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang berjalan lancar.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Aberdeen Standard Investments Indonesia mengapresiasi pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang berjalan lancar.
Perusahaan manajer investasi global asal Inggris yang masuk dalam FTSE100 ini menilai, lancarnya pelaksanaan Pemilu pada 17 April 2019 lalu cukup memberikan angin segar bagi investor untuk melanjutkan investasinya di Indonesia.
President Director Aberdeen Standard Investments Indonesia Omar S Anwar, mengatakan saat ini, pertumbuhan ekonomi kemungkinan akan seperti tahun sebelum, di GDP 5,2 persen. Dengan Pemilu 2019 yang sudah berjalan kondusif, kita tinggal menunggu pengumuman resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 22 Mei nanti.
"Struktur kabinet pemerintah merupakan salah satu faktor penentu pergerakan indeks. Di sisi lain, ada hal yang harus diwaspadai dan antisipasi untuk stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dan kedepan, yaitu defisit transaksi berjalan. Secara keseluruhan Indonesia masih tetap menarik untuk investasi, terutama bagi investor asing,” ujarnya, Kamis (16/5/2019).
Peluang Bagi Indonesia dan Tantangan Eksternal
Menjelang pelantikan Presiden di bulan Oktober, 2019, pasar juga sekalian akan menilai susunan kabinetnya. Setelah dilantik nanti, para pejabat negara tersebut akan memiliki tantangan yang cukup besar untuk mencari solusi terbaik bagi perekonomian Indonesia di tengah perang dagang terbuka antara Amerika Serikat (AS) dan China yang baru saja dimulai.
Investment Director Aberdeen Standard Investments Indonesia Bharat Joshi memperkirakan, perang tarif yang dilakukan oleh dua kutub perekonomian dunia itu tidak akan memberikan dampak langsung bagi Indonesia.
“Kalau kita lihat ke Indonesia, secara langsung tidak akan berdampak besar. Dari sisi ekspor, Indonesia hanya mengekspor batu bara ke China. Saya melihat imbas terbesarnya justru ke inflasi,” jelas Bharat.
Ia menuturkan, jika mata uang dolar AS terus menguat di tengah gejolak perang dagang maka akan terjadi pelemahan di rupiah.
“Kalau rupiah lemah, akan terjadi beban bagi APBN. Banyak harga akan naik karena banyak bahan baku mentah yang diimpor, sehingga akan terjadi lebih banyak inflasi,” katanya.
Untuk itu, ia berharap tim pemerintahan baru akan dapat mempertahankan stabilitas yang saat ini sudah berjalan cukup baik, dan menyiapkan strategi khusus guna meredam kenaikan harga-harga agar imbasnya tidak begitu dirasakan masyarakat.
Salah satu cara untuk meredam gejolak inflasi adalah dengan memastikan suku bunga bisa stabil.
“Kalau inflasi stabil, akan ada kemungkinan untuk bisa menurunkan suku bunga, misal 25 bps. Agar perekonomian Indonesia, terutama di beberapa sektor tertentu, bisa lari lagi,” jelas Bharat.
Ia memperkirakan perang dagang antar kedua negara lebih menciptakan resesi ekonomi teknikal bagi AS dan China. Jika AS terus menaikkan bea masuk produk asal China, maka jumlah barang yang masuk ke AS akan berkurang yang menyebabkan harga naik. Demikian halnya China yang akan kesulitan menemukan pembeli dari produk-produk buatannya.
Dalam perang dagang, pasti akan ada yang menang ataupun akhirnya mengalah. Melihat ketegangan perdagangan global, besar kemungkinan bisnis baru akan mengalir ke Asia Tenggara. Banyak bisnis yang diharapkan mendiversifikasikan rantai pasokan mereka ke ASEAN.