Ombudsman Sarankan Tambahan Waktu Uji Publik PP 52 dan 53
Alamsyah, seharusnya sebelum menerbitkan PP baru ini Kemenkominfo bisa merevisi UU tersebut lebih dulu.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Komisi Ombudsman meminta agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (kemenkominfo) memperpanjang waktu uji publik revisi Peraturan Pemerintah nomor 52 dan 53.
Lembaga tersebut menyangsikan jika waktu tersebut cukup untuk memenuhi mekanisma transparansi yang wajib dilakukan dalam sebuah perumusan perundang-undangan.
Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih, menuding bahwa proses revisi kedua PP tersebut tidak sejalan dengan UU no.12 tahu 2011 tentang Tata Cara Perumusan Perundang-undangan. Dalam setiap pengambilan kebijakan, dalam UU tersebut, diwajibkan untuk melibatkan masyarakat dalam memberi masukan, baik lisan dan tulisan.
"Uji publik selama enam hari sangat singkat karena semua masukan itu harus dipaparkan. Proses uji publik ini belum memenuhi tahap transparasi publikasi karena tidak ada jaminan masukan publik di kompilasi dan publikasi. Oleh karena itu sebaiknya jangka waktu untuk uji publik ditambah, beri garansi kalau masukan akan dipublikasi," ujar Alamsyahdalam keterangan persnya, Jumat (18/11/2016).
Kemenkominfo terkesan buru-buru dan memaksakan revisi PP ini untuk diresmikan. Padahal dari segi materi dianggap bertentangan dengan UU no.36. Oleh karena itu, saran Alamsyah, seharusnya sebelum menerbitkan PP baru ini Kemenkominfo bisa merevisi UU tersebut lebih dulu.
"Undang-Undang kita sudah kadaluarsa. Untuk RPP, perbaiki Undang-undangnya dahulu. Juga harus ada aturan mengenai mekanisme konsultasi publik. Dengan situasi seperti ini (waktu hanya enam hari) harus bagaimana dengan uji publik ini? Harusnya perbaiki dulu UU-nya, revisi PP lalu konsultasi publik. Alangkah baiknya revisi PP ini ditunda dulu." ujar dia.
Ditambahkan Marsma TNI Ir. Prakoso, yang merupakan tim ahli desk cyberspace Kemenkopolhukam, Kemenkominfo tidak melibatkan Kemenkopolhukam dalam revisi ini. Padahal posisi Kemenkopolhukam dalam Pemerintahan, masuk koordinasi Polhukam.
"Status telekomunikasi adalah objek vital atau kritikal infrastruktur. Kebijakan harusnya bersifat lintas sektoral. Untuk dituang dalam RPP, kominfo harusnya bisa mengkordinir dengan menkopolhukam. Kementerian harusnya jadi wasit, tidak boleh berpihak pada salah satu operator. Dalam PP 52 dan 53 ini kata 'dapat digunakan dan/atau disewakan' banyak sekali digunakan," kata Prakoso.
Lebih lanjut Prakoso mengatakan jika hal krusial seharusnya tidak boleh diatur dalam Peraturan Menteri. Pasalnya akan ada potensi penyalahgunaan kekuasaan Menteri.