Minggu, 5 Oktober 2025

Keran Ekspor Mineral Mentah Dibuka, Investasi Pembangunan Smelter Tidak Menentu

Jika keran ekspor lagi, perusahaan-perusahaan tambang akan lebih memilih mengekspor bahan mentah tanpa perlu diolah dan dimurnikan di dalam negeri

Penulis: Eko Sutriyanto
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
Smelter Nikel Sulewesi Mining Investement (SMI) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana membuka keran ekspor mineral mentah akan memicu investasi pembangunan smelter menjadi tidak menentu.

Wacana itu terang saja mendapat penolakan, baik dari kalangan legislatif maupun pengusaha smelter.

Anggota Komisi VII DPR RI, Dito Ganinduto mengatakan, Komisi VII DPR yang membawahi bidang energi dan pertambangan sepakat menolak rencana relaksasi ekspor mineral mentah.

Menurutnya, relaksasi mineral mentah tersebut sama saja dengan mengekspor tanah air dan melanggar undang-undang.

"Situasi harga mineral yang sedang turun maupun pengurangan devisa dari ekspor tidak bisa dijadikan alasan untuk relaksasi ekspor mineral mentah," katanya, Rabu (16/3/2016).

UU Minerba mewajibkan peningkatan nilai tambah dari pengolahan dan pemurnian raw material tambang.

Jika keran ekspor lagi, perusahaan-perusahaan tambang akan lebih memilih mengekspor bahan mentah tanpa perlu diolah dan dimurnikan di dalam negeri.

"Menurut saya ini justru menjadi kemunduran luar biasa bukan mempertegas UU yang sudah ada," ujarnya, Kamis (16/3).

Peningkatan nilai tambah sesuai dengan semangat UU Minerba sudah tidak bisa ditawar.

Nilai tambah itu tercapai jika perusahaan tambang membangun smelter, dan peta jalan antara hulu dan hilir harus ditata untuk mendukung program hilirisasi tersebut.

"Wacana membuka keran ekspor hanya akan merugikan Indonesia berlipat ganda seperti yang sudah terjadi sebelumnya," katanya.

Kekayaan alam Indonesia dikeduk tanpa ampun dan dibuang ke luar negeri, sedangkan Indonesia tidak menikmati multiplier effectnya.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso dengan tegas menolak rencana tersebut.

Ia mendesak agar pemerintah membatalkan wacana relaksasi ekspor mineral mentah.

Bagi pengusaha smelter, jika kebijakan ini dijalankan maka investasi smelter senilai US$12 miliar yang sudah ditanam akan sia-sia.

Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo menjelaskan, iklim investasi dan daya tarik investasi untuk membangun smelter di Indonesia bakal kembali ke titik terendah sejak menguatnya wacana relaksasi ekspor.

Ancaman lain adalah nasib smelter yang sedang dibangun saat ini sedang di ujung tanduk.

Perusahaan dan investor yang sudah membangun smelter kembali memikirkan keekonomian jangka panjang smelter tersebut karena terancam oleh relaksasi ekspor.

"Sayang sekali untuk yang sudah serius membangun smelter, wacana ini merupakan pukulan telak bagi nasib smelter tersebut," ungkapnya.

Ia pun menjelaskan bahwa pertengahan tahun ini ada ada empat smelter terakhir dari 24 perusahan anggota asosiasi akan siap produksi.

"Sehingga tahun depan serapan seluruh komoditas tambang akan meningkat bahkan bisa sama dengan angka eskpor nikel di tahun 2009," katanya.

Sebut saja untuk nikel diperkirakan tahun depan konsumsi ore nikel akan mencapai 7 juta ton per tahun.

Sebelumnya, pemerintah memastikan bahwa selama UU Minerba belum diubah maka relaksasi ekspor tidak akan dilaksanakan.

Menteri ESDM Sudirman Said menegaskan, pemerintah memahami kesulitan perusahaan yang sedang membangun smelter termasuk cashflow, namun pemerintah tidak serta merta mengambil kebijakan melonggarkan ekspor mineral mentah.

"Kami empati ke pengusaha yang tertekan cash flow. Harus kompromi, tapi jangan buru-buru dalam menjalankan relaksasi, karena itu akan menimbulkan efek negatif di kalangan pengusaha," katanya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved