Industri Tekstil Perlu Menerapkan Praktek Usaha Ramah Lingkungan
Pembeli di Eropa dan beberapa negara maju lainnya sebagian besar tekstilnya berasal dari Indonesia memberikan perhatian isu-isu lingkungan hidup
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri Tekstil Indonesia harus melakukan berbagai langkah yang mendorong praktek-praktek berkelanjutan.
Ini menimbang fakta pembeli di Eropa dan beberapa negara maju lainnya, yang sebagian besar tekstilnya berasal dari Indonesia, sangat sadar dengan isu-isu lingkungan hidup.
"Perlu strategi menerapkan praktek-praktek usaha ramah lingkungan yang dilakukan akan dapat meningkatkan ekspor produk tekstil Indonesia di pasar internasional," kata ungkap Arief Hendra Ariyana, Deputy General Manager PT TÜV SÜD Indonesia di Jakarta, Rabu (24/2/20916).
PT TÜV SÜD Indonesia adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengujian, inspeksi, sertifikasi dan pelatihan TÜV SÜD.
Celakanya seiring pesatnya pergeseran menuju praktek usaha yang ramah lingkungan, produsen dan peritel di Indonesia kerap kesulitan dalam melakukan perubahan secara efisien dan efektif, dengan tidak menambah biaya dan tanpa mengurangi kualitas produk mereka.
Fakta ini mendorong TÜV SÜD memberikan pelatihan untuk membantu para produsen lokal untuk mendapatkan berita perkembangan terkini dan wawasan mengenai praktek-praktek usaha ramah lingkungan dan standar industri dalam keramahan lingkungan.
"Kami akan mengidentifikasi berbagai inefisiensi dalam kegiatan produksi, kekurangan-kekurangan dan potensi risiko dalam industri, sekaligus memberikan pedoman menerapkan praktek dan standar yang disesuaikan dengan kebutuhan masing – masing perusahaan,” katanya.
Program pelatihannya yang ke-2 (dua) TÜV SÜD-DEG TripleC Green Business Training Programme di Indonesia, yang dikembangkan dalam kemitraan dengan German Investment and Development Corporation (DEG).
Sebelumnya program pelatihan pertama TÜV SÜD (2014-2015) adalah mengenai pengurangan jejak karbon di Indonesia dan membantudari 75 usaha kecil dan menengah (UKM) dari Jakarta dan Surabaya.
"Mereka akan memperoleh keahlian baru untuk melakukan audit penggunaan energi, membuat benchmark penggunaan energi, mengimplementasikan proses produksi yang hemat energi dan mengurangi biaya energi," katanya.
Matthias Goulnik, Country Representative, DEG mengatakan, industri pertekstilan dan pakaian merupakan kontributor devisa kedua terbesar bagi Indonesia–banyak merek global ternama telah mendirikan basis manufaktur di Indonesia dan lebih.
"Lebih dari 60 persen pakaian yang diproduksi di negara tersebut dijual ke pasar ekspor. Program ini memastikan pakaian yang dihasilkan berkualitas tinggi dan ramah lingkungan akan dapat meningkatkan profit dan pada gilirannya akan meningkatkan Produk Domestik Bruto Indonesia,” katanya.
Eric Paulsen, General Manager of PT TÜV SÜD Indonesia mengatakan, dirinya bisa melihat potensi yang besar dalam industri pertekstilan Indonesia dan memastikan praktek usaha mereka selalu ramah lingkungan sehingga akan terjadi keberlanjutan bisnis yang lebih lama.
"Pada akhirnya, produsen akan melihat perubahan besar pada keuntungan mereka setelah biaya berhasil ditekan dan daya saing usaha meningkat di pasar regional,” kata dia.
Selama 15 bulan, peserta memperoleh wawasan produsen tekstil lokal mengenai praktek-praktek usaha yang ramah lingkungan dan langkah menekan biaya tanpa mengurangi kualitas produk, sekaligus melindungi lingkungan, cegah polusi, tekan limbah dan kurangi konsumsi energi.