DPR Minta Pemerintah Cari Solusi Persoalan Pajak Air Permukaan Inalum
Perusahaan pelat merah tersebut masih tetap merasa keberatan dengan tingginya PAP.
Editor:
Hendra Gunawan
Sementara itu, Pakar dan Praktisi Hukum Indonesia, Prof. Dr Bismar Nasution, SH, MH menjelaskan, dalam Pasal 9 ayat (3) Pergubsu ditafsirkan hanya untuk pembangkit listrik PLN (Persero), maka terhadap PT. Inalum (Persero) dikenakan harga dasar Air Permukaan berdasarkan kubikasi air mengalir untuk golongan industri berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II Pergubsu, sehingga jumlah pajak terhutang PT.
Inalum (Persero) menjadi sangat besar karena dihitung berdasarkan kubikasi air mengalir.
“Hal inilah yang menjadi kurang adil bagi PT. Inalum (Persero) yang pada kenyataannya menggunakan air permukaan yang cukup besar dalam rangka menjalankan PLTA,” katanya.
Menurut Prof. Bismar, secara normatif dapat diterima benar bahwa jika Pasal 9 ayat (3) Pergubsu tersebut tidak dapat diterapkan pada PT. Inalum (Persero), maka yang berlaku adalah perhitungan berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II Pergubsu.
Sebab dalam Pergubsu tersebut tidak terdapat alternatif lain selain pengenaan perhitungan khusus berdasarkan Pasal 9 ayat (3) atau berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II.
“Apabila Pasal 9 ayat (3) tidak dapat diberlakukan terhadap PT. Inalum (Persero) karena original intens Pasal tersebut ditujukan untuk PLN (Persero), maka semestinya bagi PT. Inalum (Persero) tetap berlaku prinsip perhitungan berdasarkan Rp/ Kwh bukan berdasarkan air yang mengalir,” jelasnya.
Ia menegaskan, sejumlah Pergub di berbagai provinsi yang mengatur Pajak Air Permukaan, secara umum menggunakan acuan Rp / Kwh untuk pembangkit listrik PLN maupun non-PLN.
“Bukan menggunakan kubikasi air mengalir sebagaimana dalam Pergubsu,” ujarnya.
Pengamat dan Praktisi Pajak, Eri Juwono mengatakan, mestinya aturan daerah seirama dengan perusahaan-perusahaan yang ada di daerah, jangan sampai memberatkan apalagi sampai menetapkan pajak semaunya.
“Sehingga pihak Pemerintah Daerah mendapatkan PAD dan Inalum masih dapat tumbuh berkembang sesuai dengan cita-cita pengambilaihannya serta berkontribusi positif bagi pembangunan nasional dan pembangunan daerah Sumatera Utara pada khususnya. Iklim investasi yang kondusif inilah yang selalu didambakan dunia usaha,” katanya.
Ia menegaskan, soal pembahasan pajak air permukaan antara Dispenda Pemprov Sumut dengan Inalum ini hanya perbedaan cara pandang kedua belah pihak yang belum ketemu, walaupun sudah ada kajian independen yang dilakukan BPKP dan usulan tarif Inalum yang 241% atau lebih 2 kali lipat dari tarif yang ada.
“Padahal pajak air permukaan hanya satu dari beberapa Pajak Daerah lainnya, seperti pajak penerangan jalan, pajak bumi dan bangunan, Ijin gangguan dan adanya iuran eksploitasi untuk pengelolaan sumber daya air. Semua kewajiban yang harus dipenuhi Inalum tersebut akan mencapai dua kali lipat lebih besar dari annual fee,” ujarnya.