Senin, 6 Oktober 2025

Perusahaan Non-Pertamina Bisa Kelola Blok yang Habis Kontrak

Pemerintah menegaskan blok yang berakhir kontraknya tidak harus dikelola PT Pertamina (Persero).

Editor: Sanusi
https://bacaanpagi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah menegaskan blok yang berakhir kontraknya tidak harus dikelola PT Pertamina (Persero).

Menurut I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), blok migas yang beroperasi saat ini, sebagian di antaranya akan berakhir kontraknya.

Pada 2017, ada lima wilayah kerja (WK) migas yang akan habis kontraknya.

“Memang diprioritaskan ke Pertamina, tapi tidak harus ke Pertamina. Investor lama bisa mengajukan perpanjangan atau perusahaan lain juga bisa. Prinsipnya pemberian kepada Pertamina jangan sampai menjadi disinsentif bagi investor lain,” kata Wiratmaja saat focus group discussion "Kebijakan Pemerintah dan Strategi BUMN dalam Mengelola Industri Hulu Migas" yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Rabu (6/10/2016).

Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang akan berakhir kontrak kerja samanya menetapkan tiga cara pengelolaan.

Pengelolaan oleh Pertamina, perpanjangan kontrak kerja sama oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) eksisting dan pengelolaan bersama antara Pertamina dan KKKS.

Wiratmaja mengatakan sektor migas membutuhkan investor besar. Apalagi, pemerintah ingin agar aktivitas migas bergeser ke Indonesia bagian timur.

“Aktivitas migas di Tanah Air sekitar 91 persen berlokasi di barat. Padahal potensi besar terdapat di timur, hanya masalah ada keterbatsan infrastruktur. Potensi migas di timur juga sebagian besar ada di laut, risikonya besar dan investasi yang dibutuhkan besar,” tegasnya.

Satya W Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, melihat terbitnya Permen ESDM memberikan priviledge ke Pertamina terhadap blok migas yang akan berakhir kontraknya meski ada persyaratannya.

Menurut dia, terbitnya permen tersebut sebenarnya hanya tambal sulam. Padahal yang bisa dilakukan adalah dengan merevisi Undang-Undang Migas.

“Kita tidak ingin Pertamina seperti masa lalu. Menguasai blok migas, sekaligus menjadi regulator, sehingga Pertamina menjadi birokrat. Kita menginginkan Pertamina sebagai world class company,” ungkap dia. Pemberian prioritas kepada Pertamina harus disesuaikan dengan kapasitasnya.

Menurut Satya, Pertamina tetap bisa mendapat priviledge sebagai perusahaan negara untuk mengelola blok migas yang akan berakhir kontraknya, tapi hal itu tidak diperoleh dengan gratis. Padahal, pemerintah selama ini lebih memilih direct negotiation.

Hal ini salah satunya dilakukan dalam memutuskan Blok Mahakam, Kutai, Kalimantan Timur yang saat ini dikelola PT Total E&P Indonesie. Kontrak Blok Mahakam akan berakhir kontraknya pada 2017.

“Pemerintah sebenarnya bisa menetapkan skema first right refusal. Skema ini memungkinkan Pertamina bisa memperoleh hak pengelolaan 100 persen."

“Jadi tetap buka tender. Pertamina ikut disana. Misalnya. setelah yang menang adalah Chevron karena bagus penawarannya. Lalu kita panggil Pertamina. Apabila Pertamina bisa kelola, maka kita berikan ke Pertamina,” ungkap dia.

Satya mengingatkan sektor migas membutuhkan perusahaan yang berani mengambil risiko dan memiliki modal dan kempuan teknologi.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved