Rabu, 1 Oktober 2025

Cukai Rokok Tak Tercapai, Negara Bisa Kerepotan

APINDO meminta agar pemerintah meninjau ulang rencana untuk menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen pada 2016

Editor: Sanusi
ist
ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Melalui konferensi pers yang mengundang berbagai asosiasi Industri Hasil Tembakau (IHT), Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) meminta agar pemerintah meninjau ulang rencana untuk menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen pada 2016, karena dinilai akan memukul sektor IHT nasional.

Target kenaikan cukai yang diperkirakan naik sebesar 23 persen dinilai tidak masuk akal. Menanggapi hal tersebut, menurut anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun, target setinggi itu tak akan bisa dicapai industri rokok dengan kondisi ekonomi yang lesu dan daya beli masyarakat yang tengah menurun.

“Bila target meleset, tentu negara harus memikirkan kekurangan pemasukan APBN, bisa repot jadinya," jelasnya kepada wartawan.

Kenaikan cukai menurut Misbakhun, banyak faktor yang menjadi pertimbangan, "Apalah industri tersebut sedang tidak bermasalah? Bagaimana pertumbuhannya? Bukankah banyak pabrik yang tutup, semua itu harus jadi pertimbangan," jelasnya.

Melihat kondisi itu, Misbakhun berpendapat kenaikan cukai rokok yang pas adalah sekitar 5 sampai tujuh persen.

Sebagai catatan, target penerimaan cukai 2015 menurut APBN adalah Rp. 120,6 triliun.

Ia menambahkan tembakau selama ini menjadi sumber utama pendapatan cukai dengan porsi sebesar 96 persen.

Uniknya, sektor itu menjadi satu-satunya produk yang dihantam kenaikan cukai signifikan. Semuanya diduga dilakukan demi target pendapatan cukai dinyatakan realistis. Sementara kondisi di lapangan, industri tembakau sedang kesulitan.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) pun mempertanyakan mengapa pemerintah selalu menjadikan cukai hasil tembakau (CHT) sebagai sumber penerimaan yang paling pasti saat penerimaan dari pos lain gagal mencapai target. Hal tersebut kemudian membuat pemerintah selalu menaikkan tarif CHT demi mengejar penerimaan negara.

“Kenaikan tarif harus dibarengi pertumbuhan volume, sebab produksi saat ini bukan untuk memenuhi permintaan. Apabila pemerintah bersikeras untuk menaikkan target cukai secara eksesif, maka pemerintah harus mengantisipasi kemungkinan target tersebut tidak dapat dicapai oleh pelaku industri tembakau,” tegas Yustinus.

Misbakhun mendesak komitmen pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi objek cukai baru. Padahal, menurut dia, pemerintah bisa saja tak memikirkan intensifikasi cukai dengan cara menaikkan cukai rokok setiap tahun. Karena dampaknya juga akan sangat besar. Menurutnya, pemerintah bisa menaikkan cukai dari barang lain seperti minuman berpemanis dan bahan bakar.

“Objek ini sebagai potensi barang kena cukai karena berdampak pada kesehatan. Minuman bersoda juga buruk bagi kesehatan. Jangan hanya menaikkan cukai rokok tiap tahun," lanjutnya.

Menurut Misbakhun, kenaikan cukai yang terlampau tinggi akan mengakibatkan turunnya daya beli.

Faktanya, jumlah pabrikan rokok serta jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri tersebut terus berkurang secara drastis. Pada 2010 lalu, jumlah pabrik rokok mencapai 1994 dan sampai akhir tahun lalu jumlahnya menyusut menjadi 995 saja.

Hal itu akan mengakibatkan penurunan produksi yang bisa berujung kepada pemutusan hubungan kerja (PHK). Apabila PHK terjadi dan pabrik rokok terganggu, maka yang dirugikan adalah penyerapan bahan baku rokok, yakni petani tembakau.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved