Jumat, 3 Oktober 2025

Mantan Menteri Keuangan Kritik Struktur Industri RI yang Seperti Tukang Jahit

Sejumlah negara dengan sengaja mengambil langkah devaluasi nilai tukar mata uang.

Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Petugas memperlihatkan pecahan dolar AS yang akan ditukarkan di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Kawasan Blok M, Jakarta, Senin (24/8/2015). Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS dibuka di kisaran Rp 14.006 dan sempat mencapai posisi tertinggi pada level Rp 14.017 karena imbas dari perang mata uang (currency wars). (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah negara dengan sengaja mengambil langkah devaluasi nilai tukar mata uang.

Kebijakan moneter tersebut ditempuh guna meningkatkan daya saing produk di tengah menguatnya dollar AS. Anehnya, RI justru ketar-ketir dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, di mana diakui otoritas Bank Indonesia (BI) sudah dalam kondisi undervalued.

Namun bagi mantan Menteri Keuangan era Soeharto, Fuad Bawazier, keanehan tersebut cukup beralasan. Struktur industri RI masih banyak ditopang komponen impor.

“Struktur industri kita seperti tukang jahit, lebih banyak komponen impornya. Jadi kalau kurs rupiah tertekan, ekspor RI juga terpukul,” kata Fuad dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Rabu malam (26/8/2015).

Fuad mengatakan, memang seharusnya ketika terjadi gejolak rupiah, para pelaku usaha berorientasi ekspor mendapat keuntungan. Akan tetapi yang terjadi, di sektor industri manufaktur banyak sekali komponen impor. Di sisi lain, menjual hasil mentah pun tak semenarik ketika krisis 1998 silam. Hal tersebut disebabkan harga-harga komoditas dunia saat ini tengah alami penurunan.

“Tahun 98, saya ingat betul petani kakao senang. Ketika dollar AS 15.000, mendadak mereka menjadi kaya,” kenang Fuad.

Salah satu industri yang kini sedang tertekan depresiasi kurs adalah industri ban. Ketua Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia, Aziz Pane dalam diskusi sama mengatakan, industri ban amat terpuruk dengan kurs rupiah yang menembus level 14.000 per dollar AS.

“Local content industri ban hanya 15 persen. Oleh karena itu, dengan dollar AS naik, walaupun orientasinya ekspor, tapi kita banyak impornya. Artinya, bisnisnya bisa anjlok (gara-gara kurs),” sebut Aziz.

Aziz menambahkan, perlambatan ekonomi sangat dirasakan 15.000 pelaku usaha industri ban. Perlambatan di sektor lain, seperti kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, dan pertambangan memberikan dampak signifikan terhadap lesunya permintaan ban.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati membenarkan pengakuan pelaku usaha, bahwa industri RI masih banyak didukung oleh impor.

Menurut Enny, perang mata uang hanya bisa dilakukan oleh negara yang manufakturnya tidak tergantung pada impor. “Indonesia penghasil karet alam terbesar. Bagaimana mungkin, struktur biaya produksinya dari dalam negeri hanya 15-17 persen? Ini kan artinya kita ekspor komoditas, lalu untuk membuat ban harus impor lagi,” ucap Enny.(Estu Suryowati)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved