Peluang Usaha: Matheus Sukses dengan Percetakan Bata Ringan
Selain keuletan, modal utamanya adalah pengetahuan tentang produk dan membaca pasar
Teknik beton berpori dipatenkan pertama kali oleh ilmuwan Cekoslovakia, E. Hoffman. Namun teknik pembuatannya baru terdokumentasi setelah dikembangkan oleh Johan Axel Eriksson, ilmuwan Swedia.
Pria Jerman, Josef Hebel, menjadi penerus pengembangan bata ringan ini. Di awal-awal produk ini populer, ada dua merek yang terkenal, yaitu Hebel dan Y-Tong (merek Eriksson yang belakangan juga dibeli oleh perusahaan Jerman).
Di Indonesia, dikenal dua jenis, yaitu autoclaved aerated concrete (AAC) dan cellular lightweight concrete (CLC). Produk bata ringan kondang di sini sejak berdirinya PT Hebel Indonesia, sekitar tahun 1995.
Tapi sebenarnya, dua jenis produk bata itu sama. Yang membedakan hanyalah cara penge-ringan. AAC dikeringkan lewat pemanasan, sementara CLC dikeringkan secara alami di tempat terbuka.
Beda dengan AAC, untuk membuat bata CLC bahannya cukup pasir, semen, dan bahan kimia yang disebut foam agent alias senyawa kimia alkyl ether sulphate (AES) yang dicampur dalam mesin olah (molen). Setelah merata dan dicetak, lantas dikeringkan selama sekitar 10 jam di tempat terbuka.
Meski biaya investasinya lebih murah, Budi Harsana, Manajer Operasional PT Bumi Sarana Beton (BSB), anak usaha Kalla Group, bilang, bahan kimia foam agent belum terstandardisasi. Jadi, masing-masing perusahaan penjual foam agent punya formulasi berbeda-beda. Risikonya, tentu saja pada produk bata ringan.
Kalau foam agent bagus formulanya, akan bagus juga kualitas bata ringan. Tapi jika jelek, produk akhir juga bisa-bisa mudah pecah. "Kami belum percaya. Karena itu, kami putuskan memproduksi batu bata ringan AAC yang sudah ada standardisasinya dan proses pembuatannya terukur," ujar Budi.
• Pabrik
Dengan bermodal Rp 40 juta, seperti kata Matheus, kita sudah bisa memproduksi sendiri batu bata ringan CLC. Produksi bisa dilakukan di rumah dengan lahan yang tak perlu luas, tanpa buruh, serta alat pembakaran. Pengeringan dilakukan di tempat terbuka.
Ini berbeda dengan produksi bata ringan AAC yang membutuhkan mesin pembakaran. Artinya, kita butuh modal lebih dari Rp 40 juta. Matheus bilang, untuk lebih serius dengan produksi 500 meter kubik (m3) per hari butuh modal Rp 250 juta. Modal ini belum menghitung pengadaan tanah, ya.
Anda bebas memproduksi bata ringan ukuran berapa pun. Cuma, Matheus memproduksi batu bata ringan berukuran 7,5 cm x 20 cm x 60 cm dan 10 cm x 20 cm x 60 cm. Setiap kubik masing-masing ukuran itu berjumlah 111 dan 83 buah bata. Karena ukuran berbeda, harga jelas berlainan. Matheus mematok harga masing-masing di kisaran Rp 500.000 per m³ dan
Rp 800.000 per m³. "Sudah termasuk ongkos kirim," ujarnya.
Hal utama yang harus ada jika kita ingin membuat pabrik bata ringan adalah mesin serta lahan untuk menampung bahan olahan dan tempat pengeringan, dan tempat pembakaran. Lain dengan Matheus yang mendesain dan membuat sendiri mesinnya, BSB membeli mesin dari China.
Budi enggan membeberkan berapa harga tiap mesin, namun BSB butuh dana investasi sekitar Rp 30 miliar untuk mendirikan satu pabrik dengan kapasitas 180 m³ per hari. "Ditambah tanah, sekitar Rp 70-an miliar-lah. Tahun ini kami akan menambah mesin agar kapasitas jadi maksimal 400 m³ per hari," tutur Budi.
Matheus menjelaskan, biaya investasi lebih murah jika mesin dibuat dan didesain sendiri. Namun Budi berpendapat, justru membuat mesin sendiri, biaya investasi mesin malah lebih mahal. Karena itulah BSB memilih impor mesin dari China dan mulai produksi batu bata ringan dua tahun lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.
• Tenaga kerja