Pabrik Rokok Kecil Gulung Tikar Gara-gara Cukai Naik
Tekanan terhadap industri hasil tembakau (IHT), khususnya produk rokok kian deras
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tekanan terhadap industri hasil tembakau (IHT), khususnya produk rokok kian deras. Tapi perlawanan juga tak kunjung padam, kali ini datang dari Kudus.
Sabtu (11/4), akhir pekan lalu, Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) mengadakan Diskusi Publik “Kebijakan Tarif Cukai yang Rasional, Adil, dan Berorientasi National Interest”.
Tak kurang delapan pembicara hadir dalam diskusi tersebut, di antaranya pengamat budaya M Sobari, peneliti kretek Puthut EA, dan staf ahli wakil Menteri Keuangan, Primanegara.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Azis, yang juga menjadi pembicara, menegaskan kebijakan cukai yang diberlakukan pemerintah saat ini semakin meruntuhkan industri rokok.
Faktanya, dengan kenaikan cukai rata-rata sepanjang lima tahun terakhir yang mencapai 16 persen, mengakibatkan industri rokok banyak yang gulung tikar. “Data 2009 jumlah pabrik rokok sebanyak 4.900-an pabrik, sekarang tinggal 600-an pabrik,” ujarnya.
Mamik Indaryani, Ketua Lembaga Penelitian UMK, menambahkan, yang terjadi sekarang ini adalah ketidakpedulian pemerintah, bukan keseimbangan kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tercermin dari regulasi yang dihasilkan justru antitembakau. “Kebijakan itulah yang menggerus industri tembakau,” tegasnya.
Kenaikan cukai tidak hanya membatasi pertumbuhan produksi rokok, namun juga memukul industri rokok kecil. Kenaikan cukai menjadi bagian dari biaya produksi karena itu cukai naik jelas akan mendongkrak harga. Sementara, di sisi lain, rokok yang mereka produksi belum tentu bakal laku semua. Akibatnya, "Pabrik tutup karena kenaikan tarif cukai yang terjadi setiap tahun," tuturnya.
Ia menegaskan, kenaikan cukai dengan argumentasi kesehatan sangat tidak adil karena pastinya akan mengorbankan pihak lain yang tidak terakomodasi kepentingannya. Seharusnya, pemerintah berpikir mendorong daya saing industri tembakau bukan memberangus dengan beragam regulasi.
"Industri hasil tembakau juga berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat, pengurangan masyarakat miskin, bahkan sebagai warisan turun temurun," tegas Mamik.
Peneliti kretek dari Yayasan Indonesia Berdikari, Puthut EA, menambahkan sejatinya tudingan rokok mengganggu kesehatan juga layak diperdebatkan. Selama ini, publik disuguhi opini adanya penelitian yang menyatakan rokok tidak sehat. Namun, kata Puthut, itu hasil riset di luar negeri, dengan tembakau luar negeri, dan yang diteliti jelas rokok putih. “Karena itu mari kita bikin riset rokok kretek karena ini tidak pernah dilakukan,” ajak Puthut.
Ia meyakinkan, rokok kretek tidak perlu diberangus. Justru harus diperjuangkan sebagai heritage bangsa Indonesia. Menurut dia, kebiasaan mencampur cengkeh dan tembakau itu sudah dilakukan masyarakat sejak abad ke-18. Namun memperjuangkan rokok kretek menjadi warisan budaya bangsa juga tidak gampang.
“Pemerintah enggan memutuskan rokok kretek sebagai heritage karena dianggap kontroversial,” keluh Puthut.