Rektor UI: Open Access Bentuk Liberalisasi Bisnis Gas
Rektor UI meminta agar tata kelola gas di Indonesia tidak diliberalisasi demi ketahanan energi nasional.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rektor Universitas Indonesia (UI), Muhammad Anis meminta agar tata kelola gas di Indonesia tidak diliberalisasi demi ketahanan energi nasional.
Saat ini tata kelola gas di Indonesia, kata Anis, bersifat liberal sebagai buah dari pelaksanaan Undang-Undang no 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dan turunannya.
Pandangan rektor itu disampaikan dalam Seminar Quo Vadis Tata Kelola Migas di Indonesia di UI, Salemba, Jakarta, Rabu (26/2/2014). Acara tersebut diselenggarakan oleh Pengkajian Energi UI yang bekerjasama dengan Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Anis mencontohkan, liberalisasi bisnis gas itu antara lain berbentuk kebijakan open access (pemanfaatan pipa bersama) dan unbundling (pemisahan usaha niaga dan transportasi). Kebijakan ini berdasar Peraturan Pemerintah No 36 tahun 2004 dan Peraturan Menteri ESDM No 19 tahun 2009.
“Liberalisasi bisnis gas itu memunculkan 63 trader gas yang yang sebagian besar tidak memiliki infrastruktur/jaringan pipa. Akibatnya proses percepatan infrastruktur gas (jaringan pipa) menjadi terhambat," kata dia.
UI sebagai lembaga akademi, imbuh Anis, melakukan kajian dalam koridor akademisi terkait open access dan unbundling, sehingga tidak diintervensi kepentingan apapun, demi kedaulatan dan ketahanan energi. “Universitas adalah rumah para ilmuwan dan rumah ilmu pengetahuan,” jelas dia.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo yang menjadi keynote speaker seminar itu mengamini pandangan Rektor UI tersebut. "Saya setuju dengan apa yang beliau sampaikan,” kata Susilo.
Susilo menambahkan bahwa Kementerian ESDM mengaku senang apabila perguruan tinggi di Indonesia seperti UI, UGM, ITB, ITS dan perguruan tinggi lainnya ikut urun rembug demi tercapainya tata kelola bisnis gas yang mendorong ketahanan energi nasional. “Saya senang UI, UGM, ITB, ITS dan universitas lainnya terpanggil,” kata dia.
Perguruan tinggi, lanjut Susilo, berisi akademisi yang diharapkan tidak memiliki kepentingan pribadi, golongan maupun pesanan pengusaha. Kementerian ESDM, terang Susilo, kini sedang membuat road map pengelolaan gas bumi agar tercipta sinergi dari sisi hulu, midstream dan hilir.
“Wilayah hulu ditangani SKK Migas, hilir itu ya pengguna seperti PLN, industri dan rumah tangga. Nah di midstream inilah yang sekarang ini ditata. Sedangkan PGN berperan di mid-stream untuk pengelolaan dan pengembangan infrastruktur dalam rangka menyambungkan hulu dengan hilir. Masalah yang ada di midstream ini adalah soal open access dan
unbundling seperti yang disebutkan Rektor UI,” jelas Susilo.
Bisnis gas, kata Susilo, adalah bisnis infrastruktur. “Jadi kalau mau bisnis gas ya bangun infrastruktur seperti pipa, FSRU dan lainnya agar tidak terjadi krisis pasokan gas seperti terjadi saat ini,” kata Susilo. Berbeda halnya dengan bisnis minyak. “Kalau bisnis minyak kan pakai ember atau jeriken bisa, kalau gas harus ada pipa yang terintegrasi,” ujarnya.
Selama ini, jelas Susilo, PGN yang banyak membangun pipa. Yang terjadi selanjutnya adalah banyak trader gas yang berdiri dan tidak mau membangun pipa. “Yang lain mau seenaknya memakai pipa PGN. Kan tidak bisa begitu,” kata Susilo.
Karena itulah saat ini, Kementerian ESDM sedang merevisi aturan soal open access dan unbundling itu. Sehingga, yang berbisnis gas adalah mereka yang memiliki komitmen untuk membangun infrastruktur dan bukan trader yang hanya mau enaknya sendiri menjadi calo gas pemburu rente.
Deenderlianto dari Pusat Studi Energi UGM juga sepaham bahwa permasalahan tata kelola gas bersumber dari UU 22 tahun 2001, PP 36 tahun 2004 dan Permen ESDM No 19 tahun 2009 dan Permen ESDM No 03 tahun 2010. “Kami sudah melakukan kajian bahwa karakteristik minyak dan gas itu berbeda, perlu ada pemisahan Undang-Undang untuk Gas dengan Minyak sehingga tata kelolanya bisa optimal,” katanya.
Lebih lanjut Deen menambahkan bahwa penerapan liberalisasi gas dalam bentuk open access dan unbundling menyebabkan kenaikan harga gas dan memicu ketidakstabilan. Open access, kata Deen, hanya bisa diterapkan apabila infrastruktur gas di sebuah negara sudah mapan. Artinya infrastruktur sudah menjangkau seluruh wilayah.
“Adapun di Indonesia, infrastruktur gas di Indonesia masih terbatas. Ini ditunjukkan dengan indeks infrastruktur gas yang masih sangat rendah dibanding negara lain. Dibanding dengan Malaysia dan Thailand misalnya masih jauh ketinggalan,” kata Deen.