PLN: Inalum Tidak Memberi Manfaat untuk Indonesia
PT PLN (Persero) menilai PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) belum maksimal berkontribusi untuk negara.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT PLN (Persero) menilai PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) belum maksimal berkontribusi untuk negara.
Nur Pamudji, Direktur Utama PLN, menyarankan hasil pabrik pengolahan (smelter) dari Inalum untuk diberikan ke Indonesia. Pasalnya selama ini hasil olahan Inalum berupa bahan setengah jadi masih diberikan ke Jepang, sebagai pemilik awal Inalum.
"Bahan bakunya dari Australia, hasilnya dikirim ke Jepang, Inalum tidak memberi dampak ke Indonesia selama ini," ujar Nur Pamudji, Senin (28/10/2013).
Kendati Inalum berpotensi memproduksi listrik yang besar. Namun Inalum hingga saat ini hanya memberikan 45 megawatt saja kepada PLN.
Nur Pamudji pun meminta Inalum bisa memberikan pasokan listrik lebih besar lagi. Menurut Nur, Inalum sanggup memberikan pasokan listrik yang banyak karena memiliki banyak pembangkit listrik.
"Di lingkungan Inalum terdapat pembangkit listrik berkapasitas 600 megawatt," ungkap Nur.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah menawarkan harga sekitar Rp 6,14 triliun kepada Nippon Asahan Aluminium (NAA) untuk pembelian kembali PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan angka tersebut sudah melalui perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Keuangan. "Angka pembelian kembali Inalum kurang dari 558 juta dollar AS, maksimalnya 558 juta dollar AS. Jadi di bawah, tidak lebih," kata Hidayat.
Dengan harga tersebut, maka pemerintah Indonesia memiliki sisa dana. Pemerintah sendiri menganggarkan pembelian kembali Inalum ini sebesar 700 juta dollar AS. "Jadi ini memang angka opsi yang dibicarakan selama ini, yang waktu itu belum diputuskan BPKP dan Kementerian Keuangan bahwa kita menggunakan opsi yang ini," tambahnya.
Selama ini, proses pengambilalihan Inalum masih terkendala perbedaan nilai valuasi antara Pemerintah Indonesia yang mengajukan nilai buku senilai 424 juta dolar AS, sementara pihak Jepang mematok 626 juta dolar AS.