Mengapa Rakyat Hong Kong Marah Soal Ekstradisi ke China
Aksi ratusan ribu demonstran mengepung gedung parlemen Hong Kong dibubarkan paksa oleh polisi pada Rabu (12/6/2019) malam. Mengapa…
Sepanjang hari Rabu memang terlihat sebagian pengunjuk rasa mempersiapkan barikade untuk antisipasi bentrokan dengan polisi.
Ada juga demonstran yang mengumpulkan pecahan batu bata, meskipun saat bentrokan yang mereka lemparkan kebanyakan botol air dan payung.
Sebagian demonstran percaya bahwa konfrontasi dengan polisi justru diperlukan saat ini.
Mereka frustrasi karena aksi damai yang mereka gelar pada hari Minggu tidak ditanggapi oleh pemerintah di bekas jajahan Inggris ini.
Pemimpin Hong Kong Carrie Lam malah bersumpah untuk mempercepat perubahan aturan mengenai ekstradisi.
Pemerintah China di Beijing mendukung tegas perubahan aturan yang menurut Carrie Lam dimaksudkan untuk memastikan Hong Kong tidak menjadi surga para buronan.
Carrie Lam kabarnya memang berada di bawah tekanan luar biasa dari Beijing untuk tidak menyerah pada tuntutan demonstran.
Sambil menangis dalam sebuah wawancara, dia mengatakan tidak akan pernah "menjual" Hong Kong. Dia juga menyatakan kekerasan tidak akan ditolerir.
Perjanjian ekstradisi
Hong Kong saat ini memiliki perjanjian ekstradisi dengan 20 yurisdiksi di dunia, termasuk dengan Australia.
Pemerintah Hong Kong kini ingin mengubah aturan untuk memungkinkan ekstradisi ke yurisdiksi atau negara mana pun meski tidak memiliki perjanjian, termasuk dengan China, Makau, dan Taiwan.
Ketiga yurisdiksi itu memang sengaja dikecualikan dari perjanjian di masa lalu karena kekhawatiran atas independensi peradilan dan rekor HAM yang buruk.
Menurut Carrie Lam, tanpa perubahan Hong Kong berisiko menjadi surga bagi para penjahat dari China daratan.
Ketika bekas koloni Inggris dikembalikan ke China pada tahun 1997, para pejabat telah memperingatkan akan perlunya perjanjian ekstradisi dengan China daratan.