YLBHI Nilai Kepolisian Indonesia Tidak Berimbang Menegakkan Hukum
Pegiat hukum dan HAM mendesak Kepolisian RI mengacu pada pedoman Komisi HAM PBB dalam menindak para pelaku penyebaran berita bohong…
Kasus hukum yang menjerat Mustofa Nahrawardaya berawal dari cuitannya di akun Twitter @AkunTofa yang mengunggah narasi yang mengabarkan adanya seorang anak bernama Harun (15) yang tewas disiksa oknum aparat.
"Innalillahi-wainnailaihi-raajiuun. Sy dikabari, anak bernama Harun (15) warga Duri Kepa, Kebon Jeruk Jakarta Barat yg disiksa oknum di Komplek Masjid Al Huda ini, syahid hari ini. Semoga Almarhum ditempatkan di tempat yg terbaik disisi Allah SWT, Amiiiin YRA," demikian cuitan @AkunTofa.
Selain narasi itu Mustofa juga melengkapi cuitannya dengan video yang menggambarkan aparat sedang menangkap seorang pria pada aksi massa 22 Mei 2019.
Polisi langsung membantah dengan menyatakan video itu adalah penangkapan terhadap seorang perusuh yang hingga kini masih hidup.
Polisi menjerat Mustofa dengan pasal pidana ujaran kebencian berdasarkan SARA dan/atau pemberitaan bohong.
Dia dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tak efektif dinginkan situasi
Menanggapi pro-kontra penangkapan sejumlah orang terkait kerusuhan 21-22 Mei 2019, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai penindakan ini kontra produktif dalam mendinginkan situasi.
Lembaganya juga menilai penegakan hukum yang dilakukan polisi tidak berimbang.
"Ini penegakan hukum yang tidak berimbang. Penegakan hukum hanya kepada kalangan masyarakat yang di bawah-bawah," kata Asfinawati.
"Polisi itu terbalik penindakannya. Ada tokoh elit yang ucapannya sudah jelas-jelas sangat jahat dan mengandung diskriminasi rasial dan etnis, itu tidak diapa-apakan. Mungkin karena mereka punya jabatan. Tapi kepada masyarakat yang mungkin hanya ingin menyatakan pendapat, bukan siar kebencian, ditindak dengan tuduhan hoaks," katanya.

Asfinawati menambahkan penindakan ini juga berpotensi mencederai kebebasan berpendapat di masyarakat.
YLBHI mendesak agar proses hukum terhadap para tersangka penyebar hoaks tidak hanya didasarkan pada UU ITE.
Sebaliknya, katanya, juga harus mengacu pada pedoman rencana aksi Komisi HAM PBB dalam menangkal kabar bohong dan ujaran kebencian yang dikenal dengan Rabat Plan of Action.
"Rabat Plan ff Action menekankan penyebar hoaks itu harus diproses dengan mempertimbangkan derajat ujarannya, siapa orang yang mencuitkannya, warga biasa apalagi anak-anak harus dibedakan sanksinya dengan pelaku hoaks dan ujaran kebencian yang berstatus pejabat negara karena derajat kerusakannya pasti berbeda," katanya.