Rabu, 1 Oktober 2025
ABC World

Warga Tionghoa Sering Terlepas dari Keluarganya Ketika Memeluk Islam

Islam dan Tionghoa seringkali dipandang sebagai dua identitas yang tidak sesuai dalam konteks masyarakat Indonesia. Banyak Muslim…

Islam dan Tionghoa seringkali dipandang sebagai dua identitas yang tidak sesuai dalam konteks masyarakat Indonesia. Banyak Muslim memiliki anggapan tertentu mengenai etnis Tionghoa, begitu pula sebaliknya.

Poin utama:

  • Tidak ada satu cara tunggal dalam berislam yang dipraktekkan Muslim Tionghoa Indonesia
  • Sejarah identitas Tionghoa Muslim di Indonesia memiliki lima periode yang berbeda
  • Identitas Tionghoa agak sulit dilepaskan karena hal itu erat kaitannya dengan pertalian keluarga

Dalam bukunya "Berislam ala Tionghoa", Muslim Tionghoa Hew Wai Weng menguraikan sejarah dan latar belakang bersatunya dua identitas itu dalam diri seorang Tionghoa dan bagaimana corak keberislaman mereka di Indonesia.

Salah satu narasumber dalam buku ini Syafi\'i Antonio, cendekiawan Muslim keturunan Tionghoa.

"Orangtua saya, seperti kebanyakan orang Tionghoa Indonesia, memegang penilaian negatif tentang Islam. Bagi mereka, Islam berhubungan erat dengan keterbelakangan dan kemiskinan. Itulah yang membuat mereka menolak saya dan saya harus meninggalkan rumah ketika memutuskan masuk Islam," demikian penuturan Syafi\'i Antonio kepada Wai Weng.

Syafi\'i (52), yang memiliki nama asli Nio Gwan Chung, adalah pebisnis dan intelektual Tionghoa Muslim. Pria yang juga duduk di Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia (MUI), ini terlahir dari keluarga Konghucu. Sebelum menjadi mualaf di usia 17 tahun, Syafi\'I pernah memeluk Nasrani.

Penolakan yang diterima Syafi\'i dari keluarga lambat laun berubah.

"Setelah saya merampungkan pendidikan doktoral saya dan menunjukkan karir yang cemerlang, anggota keluarga saya mulai menerima keputusan saya," akunya.

Ia mengatakan bahwa kini, saudara laki-laki kandungnya sendiri bahkan berkonsultasi kepadanya tentang keterampilan bisnis.

"Meski mereka belum masuk Islam, mereka memiliki penilaian yang lebih baik tentang Islam sekarang," ujar Syafi\'i.

Doktor bidang perbankan dan ekonomi Islam dari Melbourne University ini tidak berbicara dalam bahasa Mandarin, pun mempraktekkan unsur budaya Tionghoa dalam kesehariannya.

Dalam penuturannya kepada Wai Weng, Syafii berharap agar pendakwah Tionghoa bisa melampaui identitas etnis mereka.

Kisah Syafi\'I hanyalah satu dari beberapa Tionghoa Muslim yang menjadi subyek penelitian Wai Weng dalam bukunya.

Tokoh lain yang menjadi sumber Wai Weng adalah Anton Medan, mantan narapidana (napi) narkoba yang dulunya juga terkenal sebagai preman dan kerapkali keluar-masuk penjara akibat tindakan kriminalnya.

Anton, yang bernama Tionghoa \'Tan Hok Liang\', masuk Islam tahun 1992, setelah bebas untuk terakhir kalinya dari jeruji besi. Berbeda dari Syafi\'I, pria yang bernama Muslim \'Muhammad Ramadan Effendi\' ini fasih berbicara Hokkian dan sedikit Mandarin.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved