Rendang Atau Soto: Globalkan Kuliner Indonesia Pemerintah Diminta Solid
Sejak awal tahun 2018, Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa makanan lokal sebagai kuliner nasional. Namun sebagai penyumbang…
Sejak awal tahun 2018, Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa makanan lokal sebagai kuliner nasional. Namun sebagai penyumbang terbesar PDB ekonomi kreatif, gaung kuliner Indonesia di pasar global dinilai belum maksimal. Untuk mengatasi hal itu, sejumlah lembaga pemerintahan terkait diminta untuk lebih fokus dan solid.
Tahun lalu, media asal Amerika, CNN, kembali menobatkan rendang sebagai salah satu makanan terlezat di dunia, setelah sebelumnya sajian khas Minang ini mendapat predikat serupa di tahun 2011.
Di dalam negeri, rendang ternyata hanyalah satu dari lima makanan lokal yang ditetapkan Kementerian Pariwisata Indonesia sebagai kuliner nasional. Empat makanan lainnya adalah soto, nasi goreng, sate dan gado-gado.
Di saat yang bersamaan, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia hanya menetapkan soto sebagai makanan nasional dari negara ini.
Kuliner sendiri adalah penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar dari sektor ekonomi kreatif di Indonesia.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, menyebutkan, kuliner menyumbang 41,40 persen dari PDB ekonomi kreatif. Fesyen adalah penyumbang terbesar kedua dengan besaran 18,01 persen, disusul oleh kriya dengan 15,4 persen.
Menurut Santhi Serad, praktisi kuliner dan pendiri komunitas Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI), faktor penyumbang PDB terbesar dari sektor kuliner adalah pasar dalam negeri. Industri makanan dan minuman, sebut Santhi, tengah meningkat di Indonesia.
"PDB meningkat juga dari pengeluaran investasi dari perusahaan untuk tingkatkan produksi dan ini bisa menyerap tenaga kerja, pengangguran bisa turun," ujarnya kepada ABC (7/11/2018).
"Walau waralaba luar banyak tetapi jika dihitung dengan warung-warung kecil ya memang besar sekali kontribusinya. Tetapi kalau lihat dari statistik untuk ekspor malah kecil."
Di sisi lain, kata Santhi, meski industri kuliner Indonesia berkembang, polaritasnya masih kalah dibanding negara tetangga. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi.
"Sebagai contoh, Vietnam jika bermigrasi dalam jumlah besar ke suatu negara, mereka hidup dan berkembang. Ada kebutuhan bumbu bagi orang-orang yg tinggal di negara tersebut, dan akhirnya muncul resto-resto Vietnam," jelasnya.
"Butuh bumbu dalam jumlah besar untuk support (mendukung) restoran Vietnam di negara tersebut."
Sementara bisnis kuliner Indonesia di luar negeri, sebut Santhi, hingga saat ini masih belum merupakan bisnis yang serius dan bisa diperluas.
"Kebanyakan bisnis untuk "surviving" atau "mengisi waktu". Bumbu-bumbu yang available (tersedia)-pun akhirnya hanya untuk skala kecil atau kebutuhan rumah tangga," ujarnya.
Santhi juga menyoroti upaya promosi kuliner nasional yang dinilainya kurang maksimal.