Perempuan Korban Kekerasan Di Indonesia Masih Sulit Akses Bantuan
Sepanjang setahun 2017 tercatat setidaknya 173 perempuan Indonesia meninggal akibat kekerasan seksual dan pembunuhan dan kasus kekerasan…
Akses layanan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan menjadi salah satu isu yang disuarakan perempuan Indonesia pada Hari Perempuan Sedunia tahun 2018 yang diperingati hari Kamis (8/3/2018).
Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan sangat menyayangkan hal ini karena berlangsung pada saat kesadaran perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan meningkat.
Hal itu tercermin dari Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Indonesia tahun 2018 yang menunjukan jumlah kasus yang dilaporkan dan ditangani seputar kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat lebih dari 90 ribu kasus dalam setahun terakhir.
Laporan itu mencatat selama setahun terakhir terjadi 348.446 kasus kekerasan yang dialami perempuan diberbagai kawasan di Indonesia.
Dari total 13.384 laporan yang ditangani mitra pengadalayanan diluar Pengadilan Agama, kekerasan fisik mendominasi di urutan pertama (41 persen), disusul kasus kekerasan seksual (31 persen), kekerasan psikis (15 persen) dan kekerasan ekonomi (13% ).
"Memang kita prihatin kasus kekerasan yang dialami perempuan Indonesia masih tinggi, tapi data itu juga bisa dibaca sebagai sebuah langkah maju dari menguatnya kesadaran perempuan untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Kekerasan seksual yang dulu dianggap aib sekarang sudah dianggap sebagai kejahatan yang harus mereka laporkan,” kata Ketua Komnas Perempuan, Azriana Rambe Manalu.
Lebih lanjut Azriana mengakui meski sudah lama disuarakan namun penyediaan akses dan layanan penanganan bagi perempuan dan anak korban kekerasan memang sangat lambat kemajuannya.
“Penanganan perempuan korban kekerasan kan tidak cuma soal menyediakan apa yang menjadi kebutuhan korban tapi juga harus ada sistem yang bisa memastikan pertanggungjawaban secara hukum bagi pelaku atas perbuatannya. Kedua sistem ini yang belum tersedia cukup baik di Indonesia saat ini.”

Sejak tahun 2016 pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memperkenalkan pelayanan bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan di tingkat wilayah di setiap propinsi.
Namun menurut Azriana pelayanan yang diberikan lembaga ini masih jauh dari ideal baik dari segi sumber daya dan infrastruktur, salah satunya fasilitas rumah aman bagi korban.
"Fasilitas rumah aman kita masih sangat sedikit. Padahal perempuan korban kekerasan seksual seperti incest itu kalau korban tidak dijauhkan dari pelaku, perbuatan itu mungkin saja akan berulang, demikian juga isteri yang jadi korban KDRT suami, kalau tidak dipisahkan bisa memicu kasus pembunuhan terhadap perempuan yang belakangan semakin marak terjadi. Setelah mereka dijauhkan dari pelaku, lalu mereka dibawa kemana? itu makanya rumah aman itu sangat penting.”
Menyikapi kondisi ini, salah satu upaya yang tengah dilakukan Komnas Perempuan untuk meningkatkan akses pelayanan menurut Azriana adalah dengan mendorong pembahasan sejumlah kebijakan terkait kekerasan terhadap perempuan, salah satunya adalah Rancangan Undang-undang (RUU) Kekerasan Seksual.
“RUU ini berusaha memperkenalkan lebih banyak jenis kekerasan seksual yang tidak hanya perkosaan. Petugas penegak hukum selama ini dalam memproses kasus semacam ini sering kesulitan karena kasus kekerasan seksual yang dilaporkan tidak dikenal oleh KUHP. Mereka sulit mencari pasal untuk memproses lebih lanjut kasus itu.”
Kekerasan incest meningkat
Sementara itu Catatan Tahunan Komnas Perempuan Indonesia tahun ini menyoroti meningkatnya kasus kekerasan seksual yang melonjak jumlahnya dibandingkan tahun sebelumnya dan menempati peringkat kedua dari jenis kekerasan yang paling banyak dialami perempuan di tanah air dengan pelaku terbanyak adalah kekasih atau pacar.