Perempuan Korban Kekerasan Di Indonesia Masih Sulit Akses Bantuan
Sepanjang setahun 2017 tercatat setidaknya 173 perempuan Indonesia meninggal akibat kekerasan seksual dan pembunuhan dan kasus kekerasan…
Kesulitan yang dialaminya mempertemukan Imaniasih dengan perempuan penyintas korban kekerasan lain yang diwadahi oleh LSM Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).
Ditengah keterbatasan mereka berusaha saling menguatkan.
"Kami bertemu sebulan sekali, ikut macam-macam kegiatan mulai dari konseling psikologi hingga kesenian. Kami bahkan memiliki grup teater khusus korban kekerasan. Karena punya pengalaman yang sama, kami jadi bebas berbicara dan itu penghiburan sekali buat kami para korban, Kami sudah seperti keluarga bagi saya." tutur Imaniasih.
Dan untuk menghadirkan layanan yang lebih dekat LBH APIK juga menginisiasi pembentukan Sekolah Pelopor Keadilan (SPK) yang memberdayakan perempuan ibu rumah tangga dan remaja di berbagai kecamatan di Jakarta.
Mereka dijadikan paralegal yang siap memberikan bantuan dan dukungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan di lingkungannya.
Imas adalah penyintas kekerasan dalam rumah tangga yang kini aktif di SPK Kelurahan Kali Baru Cilincing Jakarta Utara, salah satu kawasan kumuh dan miskin di utara Jakarta.
"Karena sejak kecil saya sering dipukuli ayah tiri, sampai akhirnya saya tidak kuat dan akhirnya lari dari rumah. Karena tau sakitnya gimana dipukul bapak, jadi saya gak tega kalo liat perempuan disakitin. Walau kadang takut karena di Tanjung Priok banyak preman, tapi saya usahakan bantu. Ada yang habis dipukuli suami, datang ke saya, saya bantu mereka lapor ke LBH atau polisi." ungkap Imas.

Salah satu perempuan korban kekerasan yang mengaku terbantu dengan keberadan unit SPK ini adalah Sumiyat, (36 ) warga Galur Jakarta Pusat.
“Saya ibu rumah tangga, suami saya orangnya sangat kasar, dikit-dikit main tangan sama saya, pernah saya sampai diinjeknya. Itu sejak tahun 2015. Saya mau ngadu gak tau mau kemana. Suami saya kalau ditegur oleh teman atau saudara, sepele dia sama mereka.”
“Setiap saya cerita ama temen atau saudara, mereka cuma bilang diam aja jangan melawan, sabar, tapi mungkin karena mereka juga tidak paham. Tapi saya mikir, kalau terus seperti ini saya bisa mati dan bagaimana nasib anak-anak saya nanti.”
Khawatir dengan keselamatan dirinya dan juga anaknya, Sumiyati mencari bantuan dengan melaporkan kasusnya ke SPK di kelurahannya yang kemudian bersama LBH APIK memediasi penyelesaian kasusnya dengan suaminya. Dukungan dan pendampingan ini efektif mencegah Sumiyati menjadi sasaran kekerasan fisik oleh suaminya.
“Setelah mendapat pendampingan saya jadi kuat dan paham kalau perempuan punya hak. Saya berani kasih tahu itu [hak dan ancaman hukum] sama suami saya dan karena tahu saya didampingi LBH yang ada akses ke polisi dan pengadilan, suami saya jadi takut. Memang Dia masih suka kasar kalau bicara sama saya, tapi setidaknya dia sudah tidak pernah main tangan lagi sama saya.” tuturnya.