Lima Puluhan Pengungsi Pulau Manus Memulai Hidup Baru di AS
Sambil berdiri di dalam sebuah kamar yang hampir kosong, Abdul Ghafar Ghulami membuka resleting tas ranselnya.
ABC News: Brad Fulton
ABC News: Brad Fulton
Jawad adalah seorang Muslim Syiah, sebuah kelompok yang dianiaya di daerah barat laut Pakistan tempat yang membuatnya melarikan diri pada tahun 2013. Abdul adalah warga etnis Hazara, sebuah kelompok etnis di Afghanistan yang sering dijadikan sasaran oleh Taliban.
Mereka berdua bertekad menjadi pengungsi pada tahun 2014, tiga tahun sebelum mereka meninggalkan Pulau Manus.
Mereka berdua terlihat kelelahan.
Untuk sampai ke Louisville, mereka harus terbang dari Papua Nugini, melewati Manilla, Los Angeles, dan Chicago.
"Kami tak memiliki saudara atau teman, jadi sulit untuk memasuki tahap pertama bermukim di negara yang berbeda -dan AS tentu saja berbeda -tapi kami bahagia, kami senang berada di sini," tutur Jawad.
Abdul mengatakan bahwa ia baru mengetahui beberapa hari sebelum berangkat ke Pulau Manus bahwa ia telah diterima di AS.
"Pada waktu itu, saya merasa sangat gembira dan terkesan," ujarnya.
"Sampai saya masuk pesawat terbang, saya tak percaya ini terjadi."
Setelah dijanjikan untuk dimukimkan kembali di negara-negara mulai dari Malaysia hingga Kamboja dan lalu ditinggalkan begitu saja di Pulau Manus, hanya sekali ia benar-benar meninggalkan Papua Nugini kemudian memberi tahu teman serta keluarganya bahwa ia bebas.
"Ketika saya pergi dan meninggalkan Pulau Manus, saya menghubungi mereka dan menulis pesan kepada mereka bahwa akhirnya saya keluar dari neraka itu," kata Abdul.
Kedua pria tersebut berulang kali menyebut Pulau Manus sebagai "neraka".
Lima orang meninggal saat mereka masih berada dalam tahanan, dan mereka mengatakan, trauma sewaktu mereka berada di Papua Nugini tetap terekam baik.
"Pikiran saya dan semuanya masih ada di sana," kata Abdul.