Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat Jawab Protes Penghargaan untuk SBY
Ribuan orang petisi menolak penghargaan kepada Presiden SBY di digalang lewat www.change.org/natoSBY.
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Protes terhadap rencana pemberian penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation (ACF) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kian meluas. Ribuan orang petisi menolak penghargaan kepada Presiden SBY di digalang lewat www.change.org/natoSBY.
Penolakan atas penghargaan ini juga sebelumnya dideklarasikan sejumlah tokoh HAM seperti Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, Anisa Wahid (puteri almarhum Abdurrahman Wahid), Romo Benny Susetyo dan beberapa tokoh Syiah dan Ahmadiyah di Jakarta dua hari lalu.
Namun SBY dijadwalkan tetap berangkat ke Amerika Serikat (AS) 29 Mei nanti diantaranya untuk memperoleh penghargaan itu.
Nah, bagaimana sebenarnya penghargaan itu. Mengapa SBY memperoleh penghargaan dimaksud. Berikut opini Duta Besar Indonesia untuk AS Dinno Patti Djalal seperti dikutip Tribunnews.com, Sabtu (25/5/2013), dari laman Setkab.
"Akhir bulan Mei ini, Presiden SBY direncanakan menerima penghargaan World Statesman Award dari Appeal for Conscience Foundation (ACF), suatu yayasan antar-agama bergengsi di Amerika Serikat. Ini merupakan kesekian kalinya Presiden SBY menerima penghargaan internasional (penghargaan sebelumnya dari UNEP, ILO, World Movement for Democracy, US-ASEAN Business Council, WWF/WRI/TNC, dan lain-lain)," ujarnya.
"Walaupun suatu kehormatan, saya tidak melihat penghargaan ACF ini sebagai suatu yang terlalu luar biasa atau mengagetkan. Saya juga sependapat dengan Pak Yusuf Kalla yang dengan bijak menyatakan bahwa penghargaan ACF untuk Presiden SBY ini sebenarnya adalah kredit untuk bangsa Indonesia. Mengapa? Karena dalam 1 dekade terakhir, profil Indonesia di dunia internasional sudah jauh berubah," tambahnya.
Dijelaskan, reputasi Indonesia dulu sebagai negara terpuruk - kata Tom Friedman, "messy state" - telah berubah menjadi negara yang disegani : sebagai anggota G-20; "major democracy", "emerging economy", "pivotal state", "next Asian giant", "environmental power"; dan lain sebagainya. Ini adalah fakta dan realita - bukan opini. "Jangan sampai kita seperti bangsa yang bingung, terpuruk marah, sukses kesal," imbuh Dino.
Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia semakin dilirik bangsa-bangsa lain, termasuk oleh Amerika Serikat. Pertama, Indonesia kini mempunyai status yang langka sebagai negara demokrasi yang mapan dan stabil.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, setelah 3 kali pemilu, lanjut Dino, demokrasi Indonesia dianggap kisah sukses. Di AS, Indonesia banyak dirujuk oleh pengamat internasional sebagai tauladan bagi negara-negara Arab Spring yang kini mengalami transisi.
"Saya selalu menyerukan harapan agar Arab Spring dapat menjadi Indonesian summer. Sementara itu, upaya Presiden SBY memprakarsai acara tahunan Bali Democracy Forum telah tumbuh pesat dari 32 negara peserta menjadi 80 negara. Sebagai perbandingan, forum Asia Pacific Partnership for Democracy yang dirintis AS pada tahun yang sama ternyata kurang berkembang. Bukankah itu menunjukkan kredibilitas Indonesia yang tinggi dan kepercayaan dunia yang tinggi terhadap kita ?" Dino menegaskan.
Hal lainnya, Indonesia kini mempunyai rekor hak asasi manusia yang jauh berbeda dari era sebelumnya. Hal ini tidak mengherankan karena kontrol media dan publik yang sangat intens dalam era kebebasan pers. Dalam era demokrasi kita, tidak ada lagi pelanggaran HAM berat seperti penembakan masal Santa Cruz tahun 1991 atau di Tanjung Periuk tahun 1984.
Selain itu, kasus orang hilang diculik aparat juga hampir tidak terdengar lagi. Pendeknya, pelanggaran HAM yang dulu sistematis oleh negara kini telah diganti oleh pelanggaran HAM oleh individu yang sifatnya insidentil, dan pola ini nampaknya akan terus menghantui kita ke depan. Di Asia Tenggara, papar Dino, Indonesia adalah negara yang paling aktif mendorong ASEAN untuk menghormati prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Yang lain, Indonesia kini dipandang sebagai pelopor perdamaian. Di dalam negeri, prestasi sejarah kita yang terbesar adalah tercapainya perdamaian permanen yang mengakhiri separatisme di Aceh. Konflik berdarah di Poso dan Maluku juga selesai. Konflik di Papua masih ada namun terkendali.
"Sekali lagi, disini saya melihat paradoks. Saat dirundung konflik, kita berteriak meratapi nasib; namun begitu konflik diselesaikan, kita menganggap sepi. Untungnya, di dunia internasional prestasi ini dicatat dan dihargai. Tahun 2006, misalnya, Presiden SBY sempat masuk daftar kandidat hadiah Nobel Perdamaian. Walaupun hadiah Nobel tahun itu dimenangkan Muhammad Yunus dari Bangladesh, diplomasi perdamaian Indonesia terus melaju," paparnya.
"Di Laut Cina Selatan, Myanmar, Lebanon, konflik Thailand-Kamboja, hubungan dengan Timor Leste, Indonesia kemudian mengambil peran signifikan yang dapat mengubah dinamika konflik," tambahnya.
Indonesia diungkapkan Dino Pati Jalal, kini telah menjadi pemain global. Ini tidak hanya terbatas pada forum G-20 Li; namun juga untuk sejumlah isyu internasional : lingkungan hidup dan konservasi laut; perubahan iklim; inter-faith; Islamophobia; pembangunan. Dalam semua isu ini, tindakan Indonesia dihitung, dan suara Indonesia didengar.
Bukti paling jelas adalah terpilihnya Presiden SBY sebagai Ketua Bersama High Level Panel yang ditunjuk Sekjen PBB untuk merumuskan arah pembangunan dunia pasca-MDG. Apapun kapasitasnya, Indonesia kini dipandang sebagai pelopor dan jembatan - antara dunia barat dan Islam; antara negara berkembang dan negara maju; antara Asia Tenggara dan dunia internasional; antara kawasan Samudera India dan Samudera Pasifik.