Tribunners / Citizen Journalism
Seorang Menteri di Indonesia Korupsi Hibah dari Jepang?
Masyarakat sudah tidak sabaran lagi. Sepertinya semua pejabat, apalagi menteri dan kalau perlu Presiden
TRIBUNNEWS.COM - Masyarakat sudah tidak sabaran lagi. Sepertinya semua pejabat, apalagi menteri dan kalau perlu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selalu dicurigai korupsi. Kok bisa kaya, padahal gajinya sekian juta serta tuduhan lain. Benarkah demikian, benarkah mereka itu melakukan korupsi di jaman transparansi saat ini? Atau memang mereka membodohi rakyat, gak bakalan tahu deh masyarakat, begitukah pikiran para pejabat ini?
Sudah selayaknya kalau kita tidak menghakimi sendiri kalau tidak ada bukti. Upayakan cari bukti dengan kontak teman-teman yang dipercaya, dengan segala cara sehingga terungkaplah bukti-bukti tersebut. Hal inilah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apakah kita sudah tidak percaya kepada KPK? Lha, siapa yang mesti dipercaya kalau KPK saja sudah tidak bisa dipercaya? Jawaban bukan untuk kita. Mungkin pihak KPK sendiri bisa menjawabnya dengan pertanggungjawaban kepada Tuhan, apa yang akan anda terima nanti di “sana” percayalah, pasti sebanding dengan yang anda lakukan di dunia.
Lepas dari tuduh menuduh yang ada sekarang, curiga tentu boleh saja, namun sebaiknya jangan sampai tuduhan yang ada sekarang meruncing akhirnya, karena akan berdampak gesekan sosial kurang baik bagi perkembangan bangsa dan negara, terutama perekonomian secara keseluruhan, hanya gara-gara ulah satu dua orang yang gregetan dan emosional melihat gejala kemungkinan korupsi tersebut.
Berita yang muncul sekarang menarik sekali. “Diketahui, pemerintah Jepang memberikan bantuan KRL kepada Departemen Perhubungan pada 2006-2007 saat Hatta Rajasa menjabat sebagai Menteri Perhubungan, dengan nilai proyek Rp 48 miliar. Proyek tersebut diduga sudah mengalami penggelembungan biaya transportasi pengiriman mencapai 9 juta Yen. Negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp 11 miliar. “
Selanjutnya berita tersebut juga menuliskan, adanya seorang mantan Direktur Jenderal yang diperkarakan di pengadilan.
Untuk melihat soal korupsi hibah barang dari Jepang, ada dua hal yang terpenting di sini. Pertama, jangan bicara korupsi kalau kita tak tahu datanya. Berapa banyak kereta api Jepang yang masuk ke Indonesia dihibahkan oleh Jepang? Benarkah 60 unit? Berapa biaya impor angkutan kereta api tersebut per unitnya? Berapa biaya pajak yang dikenakan terhadap impor kereta api tersebut?
Menjadi pertanyaan, kalau pemerintah yang menerima dan mengimpor hibah, apakah mungkin dan bisa terjadi adanya surat menteri, apalagi surat presiden, sehingga dapat membebaskan biaya pajaknya?
Kalau biaya pengiriman (angkutan) ke Indonesia, apalagi asuransi, mungkin sulit atau tidak bisa di Nol-kan karena semua butuh biaya untuk pengangkutan tersebut. Tetapi harus kita tanya ke pemerintah, berapa biaya pengangkutan tersebut sampai ke Tanjung Priok Jakarta.
Hal kedua terpenting adalah informasi dari (pemerintah) Jepang mengenai hibah barang (dalam hal ini kereta api) ke Indonesia. Bagaimana bentuknya terutama soal uang? Apakah benar-benar seratus persen tak ada uang yang harus dibayarkan kepada Jepang? Apakah Jepang pemberi hibah tidak men-charge biaya kepada kita?
Apabila dua hal penting di atas terjawab, kita semua akan lega dan dapat mengetahui pasti ada atau tidaknya korupsi dilakukan oleh pejabat kita. Hal pertama di atas, adalah tugas semua warga negara yang ada di Indonesia. Mencari tahu segala sesuatu sampai detil, terungkap semua.
Pengadilan boleh saja dan bahkan harus memutuskan sebuah perkara. Tapi bagaimana kelanjutan perkara? Apakah akan sampai tingkat Mahkamah Agung yang terakhir? Semua belum finish mengenai sebuah kasus di pengadilan di Indonesia, secara hukum. Tapi kita boleh percaya bahwa pengadilan memang memutuskan demikian. Kita percayakan yang terbaik. Terlepas dari ada tidaknya uang mempengaruhi keputusan hakim, karena mungkin seorang tersangka sengaja dikorbankan. Semua skenario bisa saja terjadi di sebuah negara. Itu persoalan lain lagi.
Satu hal yang bisa penulis bantu dari Jepang adalah menjawab hal terpenting kedua tersebut. Apakah memang ada pembayaran yang harus dilakukan kepada Jepang? Apakah ada tagihan dari Jepang kepada Indonesia?
Penulis tidak pernah melakukan pekerjaan terkait hibah perkeretaapian Jepang kepada Indonesia, walaupun sumber ada di Jepang dan mudah mendapatkan informasi dari pelaku di Jepang. Namun beberapa barang yang menjadi hibah Jepang kepada Indonesia pernah penulis bantu lakukan, sehingga Indonesia rasanya terbantu. Misalnya hibah kursi roda Jepang ke Indonesia, hibah mobil ambulans Jepang buat Indonesia, hibah mobil pemadam kebakaran Jepang buah Indonesia, dan sebagainya.
Itulah yang dilakukan Jepang untuk membantu Indonesia agar barang-barang tersebut tidak mubazir di Jepang. Mengapa? Kalau tidak dipakai, dibuang pun harus bayar mahal sekali di Jepang. Inilah hukum Jepang. Membuang sampah seperti mobil, besi besar, alat elektronik, furniture dan sebagainya, malah si pemilik (kita sendiri) harus membayar cukup mahal saat buang sampah tersebut.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.