Blog Tribunners
Calon Presiden 2014
Kisah di Balik Kritik PAN Atas Pencapresan Prabowo
Saya bukan orangnya Prabowo atau kader Partai Gerindra. Saya hanyalah seorang citizen jurnalis yang

TRIBUNNEWS.COM - Saya bukan orangnya Prabowo atau kader Partai Gerindra. Saya hanyalah seorang citizen jurnalis yang suka berita politik, dan menuliskannya. Ketika membaca tulisan berita “PAN Kritik Pencalonan Prabowo Jadi Capres 2014” di Kompas.com (29/12), asyik juga berita ini ditulis ulang.
Sebagai Ketua DPP Bidang Komunikasi Politik – Partai Amanat Nasional (PAN), pernyataam yang disampaikan Aria Bima Sugiarta dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki (TIM) – Jakarta, kuranglah elok, cenderung tendensius, benar-benar mencerminkan ketidaksukaannya atas pencalonan Prabowo Subianto jadi capres 2014. Entah apakah ini pernyataan pribadi atau mewakili suara partainya, tapi setidaknyanya dalam berita ada kutipan nama Arya Bima Sugiarta - Ketua DPP Bidang Komunikasi Politik PAN.
Saya pun lalu teringat kembali runtutan peristiwa politik beberapa tahun lalu dari saat meliputi pertemuan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir, di DPP PAN, pada 15 April 2009. Adapun pertemuan ini dimaksudkan untuk menjajaki koalisi bersama pascapemilu legislatif. Meski tidak sampai ada kata deklarasi, secara implisit pertemuan ini banyak yang memaknainya sebagai langkah politik bagi keduanya untuk maju ke Pilpres 2009. Keduanya akan maju berduet, Prabowo – presidennya, Soetrisno Bachir – wakil presidennya. Ternyata ada aktor intelektual internal PAN tidak menyukai langkah politik Soetrisno Bachir.
Tak lama berselang, atau dua minggu kemudian, tepatnya pada 2 Mei 2009, PAN menggelar rakernas di Yogyakarta, yang memutuskan PAN untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat, dan mengajukan Hatta Radjasa sebagai calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Keputusan inipun tidak bisa diganggu-gugat. Keputusan Rakernas PAN ini bukan hanya menggugurkan rencana koalisi bersama antara PAN dan Gerindra, tapi juga telah menjegal langkah Ketua Umum PAN – Soetrisno Bachir untuk maju ke bursa Pilpres 2009.
Dari ilustrasi tersebut, menunjukkan bahwa ketidaksukaan PAN atas pencalonan Prabowo jadi Capres 2014 bukan lagi hanya dilandasi sentimen personal, tapi juga sudah menghiasi bangunan melembaga PAN. Ketidaksukaan ini bukan hanya jelang Pilpres 2014, tapi sudah sedari Pilpres 2009 lalu.
Ketambahan lagi, saat ini popularitas dan elektabilitas kian hari kian berkibar, membuat PAN makin cemburu. Bahkan sentimen rasa cemburu tersebut sempat dinyatakan oleh Ketua DPP Bidang Komunikasi Politik PAN, sebagaimana dikutip, “Popularitas dan elektabilitas seorang Prabowo sampai hari ini selalu nomor satu. Fenomena apa ini? Apakah ini betul reward atas jasa Prabowo?" ujarnya.
Memang dari survey Calon Presiden 2014, misalkan hasil Lembaga Survey Indonesia (LSI) atau survey lainnya, kalau mau disandingkan popularitas dan elektabilitas antara Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Partai Gerinda) dengan Hatta Radjasa (Ketua Umum PAN) memang tidak sebanding dan tidak setanding. Termasuk sampai hari ini.
Jadi kritik atas pencalonan Prabowo jadi capres 2014, hendaknya sesama parpol peserta pemilu untuk menjaga etika politik, tidak main telikung untuk berebut mendapat simpati. Karena bukan tidak mungkin yang terjadi malah sebagaimana pribahasa; semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpah.
*Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen” (pewartaindependen.blogspot.com)
TRIBUNNERS TERBARU
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.