Blog Tribunners
Genosida dalam Rancangan Kurikulum 2013
Indonesia merupakan Negara yang kaya raya, mulai dari Sumber
TRIBUNNEWS.COM - Indonesia merupakan Negara yang kaya raya, mulai dari Sumber Daya Alam hingga pada kebudayaan serta bahasa Daerahnya yang merupakan dari Kebhinekaan. Akan tetapi, mungkin Kebhinekaan itu lambat laun akan musnah seiring dari ketidakseriusan Pemerintah dalam menjaga serta melestarikan kebhinekaan yang ada di dalamnya. Bahasa adalah ciri dari suatu bangsa dan merupakan identitas dari suatu negaranya. Apabila bahasa itu musnah, maka musnah pula bangsanya. “Genosida”, ya sepertinya akan merujuk ke arah itu jika Bahasa Daerah tidak tercover secara eksplisit dalam rancangan Kurikulum 2013. Hal tersebut dapat dikategorikan dengan sebutan kejahatan Genosida. Genosida sendiri merupakan gerakan untuk memusnahkan suatu suku bangsa, ras, kaum atau sekelompok lainnya dengan harapan suku bangsa tersebut menjadi punah. Genosida dilakukan secara sistematis melalui langkah-langkah sebagai berikut :
Penggolongan atau Klasifikasi, Simbolisasi, Dehumanisasi, Pengorganisasian, Polarisasi /Pemecahbelahan, Persiapan, Pembasmian, dan Penyangkalan. Genosida pernah terjadi dalam perjalanan dunia ini misalnya :
Pada pembantian orang Yahudi oleh kaum Nazi, Pembantaian oleh Khmer merah di Kamboja, Pembataian suku Indian, dan lain-lain. Walaupun hingga tulisan ini dibuat terdapat pernyataan dari Bapak Mendikbud dalam sosialisasi Kurikulum 2013 di daerah-daerah. “Bahwa Mata Pelajaran Bahasa Daerah tidak dihilangkan/dihapuskan tetapi disisipkan dengan Mata Pelajaran Seni Budaya & Prakarya yang pelaksanaannya diserahkan pada kewenangan Daerah masing-masing yang kedudukannya sejajar dengan mata pelajaran lain. Karena di dalam acuan Kurikulum 2013 merujuk pada tiga fenomena; Fenoma Alam, Fenomena Sosial, dan Fenomena Budaya. Hal ini diartikan bahwa Bahasa Daerah termasuk kajian dari Fenomena Budaya”. Jika asumsinya demikian, hendaknya dalam rancangan Struktur Kurikulum 2013 tidak tertulis secara eksplisit Mata Pelajaran “Seni Budaya”, tetapi Mata Pelajaran “Budaya”. Karena pada hakekatnya Bahasa dan Seni Daerah adalah bagian dari Budaya yang kedudukannya sejajar. Akan timbul perbedaan tafsiran di lapangan (Sekolah selaku pelaksana Kurikulum) jika tersirat bahwa mata pelajaran Bahasa Daerah dapat disatukan dengan mata pelajaran Seni Budaya.
Untuk melestarikan dan mempertahankan bahasa Daerah agar tetap ada, salahsatu caranya adalah melalui jalur proses pembelajaran dalam pendidikan. Karena di sanalah penerus bangsa mendapatkan pengetahuan secara sistematis dan terprogram. Akan tetapi, ketika melihat rancangan Kurikulum 2013 yang sedang digadang-gadang oleh Pemerintah (Kemendikbud) sebagai pengganti kurikulum yang berjalan saat ini. Di dalam rancangan kurikulum tersebut, tidak ada kejelasan posisi Bahasa Daerah selaku mata pelajaran yang mandiri. Terlebih, sempat muncul steatment dari salah satu Tim Pengembang Kurikulum yang menyatakan “Bahwa penghilangan Mata Pelajaran Bahasa Daerah dalam kurikulum merupakan hal yang wajar dikarenakan keheterogenan masyarakat saat ini”. Hal ini jelas membuat reaksi yang sangat keras dari berbagai kalangan masyarakat serta dianggap sangat bertentangan dan melanggar konstitusi yang ada, diantaranya;
- Pada tataran dunia dalam hal ini UNESCO telah mengeluarkan Rekomendasi pada tahun 1999 mengenai “Pemeliharaan Bahasa Ibu Sedunia (hingga ditetapkanya, 21 Februari sebagai “Mother days leanguage”)”.
- Pada Tataran Nasional, telah menabrak
a. Pasal 32 UUD 1945 :
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
BAB XV BENDERA DAN BAHASA UUD 1945
Pasal 36
Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-balk (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
c. SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928, yang berbunyi “Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia” (Jelas, dalam ayat yang spesial ini para pendahulu kita begitu mengakui adanya bahasa ibu (bahasa daerah) yang terdapat pada Nusantara ini).
d. Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang “Fungsi dan Tujuan Sistem Pendidikan Nasional”.
e. Daerah-daerah yang telah mengeluarkan Peraturan Daerahnya mengenai Pelestarian Bahasa Daerah berdasarkan Payung hukum di atas serta kewenangan dalam Otonomi Daerahnya.
Setelah muncul pernyataan tersebut serta mengikuti beberapa kali sosialisasi dan uji publik kurikulum 2013 yang menimbulkan banyak reaksi dari berbagai kalangan, tetap membuat Kemendikbud tidak terbuka pendengarannya. Malah dengan bangganya, menyatakan “Tidak ada seorang pun yang menolak Kurikulum 2013 ini!” (Terlalu percaya diri atau betul-betul sudah tuli???).
Reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat terus mengalir, di Provinsi Jawa Barat sendiri aksi turun ke jalan yang disebut Aksi Budaya di mulai pada tanggal 31 Desember 2012 di halaman Gedung Sate-Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Peduli Bahasa Daerah Provinsi Jawa Barat dengan lantang menyatakan “Sunda Menolak Pembunuhan Bahasa Daerah Dalam Kurikulum 2013”, diteruskan dengan Mediasi Birokrasi pada tanggal 02 Januari 2013 di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang isinya meminta pernyataan sikap dari Gubernur Jawa Barat untuk melayangkan surat rekomendasi kepada Kemendikbud (Hingga saat itu, Kemendikbud masih tetap dan bangga dengan ketuliannya) serta hingga pertanggal 06 Januari 2013 tetap menyangkal bahwa “Mata Pelajaran Bahasa Daerah tetap diadakan (tidak dihapuskan) yang alokasi waktunya disisipkan dalam mata Pelajaran Seni Budaya, Prakarya, dan Penjasorkes” (Karena dalam kurikulum 2013 ini, mengacu konsep Tematik-Integerasi). Hal ini yang menimbulkan kerancuan (karena garapan Bahasa Daerah dan Seni Budaya itu berbeda, serta dalam prakteknya di lapangan itu akan sulit sekali menerapkannya). Jelas ini semakin terlihat bahwa Pemerintah (Kemendikbud) memang enggan untuk melestarikan bahasa daerah di Nusantara ini.
Dengan salah satu dalih yang pernah dikeluarkan “bahwa tidak semua daerah memiliki bahasa daerah yang dijadikan pelajaran”. Sungguh alasan berupa penyangkalan dan ironis. Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang terhormat, kalau boleh saya berbicara. Pada kurikulum yang berlaku saat ini saja Bahasa Daerah merupakan Muatan Lokal dalam struktur kurikulum nya, banyak sekali sekolah yang tidak mengindahkan/melaksanakan pembelajaran Bahasa Daerah sehingga secara tidak langsung turut serta menyumbang penghapusan Bahasa Daerah. Terlebih lagi sekarang, apabila Bahasa Daerah tetap diintegerasikan dengan Mata Pelajaran lain.
Tidak lah mustahil peluang hilangnya bahasa Daerah di bumi Nusantara ini semakin besar. Untuk menangani hal tersebut, alangkah bijaknya jika Bahasa Daerah masuk dalam struktur Kurikulum Pusat yang mandiri, karena hal ini dapat menimbulkan dampak positif yang luar biasa. Selain Bahasa Daerah yang sudah ada dan diajarkan pada sekolah makin kuat payung hukum nya (Legitimit nya), hal ini pula dapat merangsang daerah lain di Nusantara ini yang memiliki bahasa Daerah serta dianggap hampir punah akan kembali bangkit dan dikenal kembali oleh masyarakatnya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.