Tribunners / Citizen Journalism
Iklan “Selamatkan Indonesia” dan Kaum Sekolahan
Pro-kontra terkait isu tembakau atau rokok belakangan semakin hari semakin menajam.
Oleh: Waskito Sasongko Giri*
TRIBUNNEWS.COM - Pro-kontra terkait isu tembakau atau rokok belakangan semakin hari semakin menajam. Setelah ribuan petani berduyun-duyun dari dusun sentra-sentra tembakau menggeruduk ibukota menolak RPP Tembakau. Belum lama berselang pihak anti tembakau giliran mengeluarkan suara kepedulian bertema “Selamatkan Indonesia”. Tidak tanggung-tanggung, kurang lebih lima puluh cendekiawan menandatangani semacam petisi menyeru Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan regulasi pengendalian konsumsi tembakau. Menurut mereka rokok adalah endemi global yang menyebabkan munculnya gejala degenerasi tubuh dan berbagai penyakit pada masyarakat modern. Lebih dari itu, bahkan kebiasaan merokok menghambat upaya pengentasan kemiskinan karena hakikinya adalah sumber pemiskinan itu sendiri. Dengan deretan angka-angka yang dikait-kaitkan pada isu kesehatan dan kemiskinan, kaum sekolahan mendakwa sektor industri tembakau sebagai akar sebab musababnya. Benarkah demikian?
Penulis melihat ada kesan kepanikan yang berlebihan di kalangan kaum sekolah ini melihat kebiasaan (habituating) masyarakat mengonsumsi tembakau. Selain itu, juga bangunan kesimpulan yang tampak tergesa-gesa sebegitu rupa pun tercermin dalam petisi ini. Sebab bukankah konsumsi tembakau sebenarnya sudah menjadi tradisi pembentuk wajah kebudayaan bangsa sejak dulu? Secara historis dan literal tercatat nama perempuan pebisnis Roro Mendut, yang hidup pada zaman raja Sultan Agung abad ke-16 di Mataram, sukses membuka lapak bisnis ini. Sehingga boleh dikata industri olahan tembakau muncul dan tumbuh mendahului lahirnya Republik. Bahkan, industri tembakau langsung atau tidak langsung turut menyangga struktur industri nasional. Di tengah-tengah hantaman gelombang krisis ekonomi global dan gejala de-industrialisasi negeri, kita lihat geliat eksistensi industri ini mencerminkan elan spirit enterpreuneur sejati yang mampu tetap tumbuh, meski tanpa disusui kebijakan proteksi dan subsidi negara. Dengan serapan tenaga kerja mencapai 10 juta orang (ILO 2003) dan kontribusi pada kas negara mencapai 70 triliun lebih per tahun, maka tidak salah jika pemerintah mendudukkan sektor ini sebagai salah satu industri prioritas nasional. Lalu, mengapa kaum sekolahan menutup mata akan realitas ini?
Dana Bloomberg Initiative dan Standar Ganda Amerika
Ironisnya lagi, kepanikan para cendikiawan ini terkesan tiba-tiba saja membuncah riuh simultan dengan menguatnya gerakan isu anti tembakau global dan upaya ratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Pertanyaannya ialah, apakah riuh rendah protes ini berkorelasi kucuran milyaran rupiah dari Bloomberg Initiative yang didirikan Michael Bloomberg itu? Bloomberg yang adalah pejabat walikota New York tiga periode berturut-turut, politisi terkaya Amerika dan pebisnis korporasi media dan layanan jasa informasi keuangan global, tentu bukanlah sosok suci laiknya Dalai Lama atau Bunda Teresa yang bisa kita pastikan imun dari struktur kepentingan modal.
Tapi, barangkali saja mereka memang tidak tahu, bahkan pada isu anti tembakau global sekalipun Paman Sam juga mengenakan moralitas standar ganda. Alih-alih meratifikasi FCTC, Amerika sebagai salah satu negara produsen tembakau terbesar dunia malah mengeluarkan kebijakan mensubsidi pertanian tembakaunya pada tingkat hulu dan memproteksi perdagangan industrinya pada tingkat hilir. Artinya, jika kita mau mendedah kritis dibalik standar ganda negeri koboi terkait kebijakan tembakau di negaranya dan kampanye isu internasionalnya, maka seharusnya respon kita terhadap maraknya isu anti tembakau global bisa menjadi lebih bijak. Sehingga akhirnya kita pun mampu memilah-milah isu-isu global tersebut, salah satunya adalah isu anti tembakau dalam kerangka kepentingan nasional bangsa.
Terlebih jika kemudian kita pun tahu, kebenaran ilmiah terkait tembakau sebagai sumber penyakit hakikinya ternyata masih sangat debatable. Bagaimana mungkin, di satu sisi entitas tembakau dikatakan sumber segala penyakit, namun di sisi lain juga sumber senyawa obat? Ambilah contoh hasil riset saintifik Dr. Arief Budi Witarto peneliti LIPI. Dengan penerapan bioteknologi khususnya moleculer farming justru menemukan tembakau bisa menghasilkan protein anti kanker dan HIV. Contoh lain temuan Dr. Gretha Zahar dan Prof. Sutiman, dengan teknologi nanobiologi menemukan produk tembakau dapat menjadi obat berbagai penyakit seperti kanker. Berbagai hipotesa saintifik tentang tembakau sebagai senyawa obat, tentu riset-risetnya lebih berlimpah dan jauh lebih berkembang di negara-negara maju. Apakah sebagai kaum cerdik pandai mereka tidak bisa menduga, jika sangat mungkin setelah korporasi asing obat dan rokok telah memenangkan seluruh perebutan pasar tembakau dunia, lalu mereka tiba-tiba berbalik arah kesimpulan diskursifnya dan mengatakan: “Ini kita temukan sebuah rokok sehat”.
Namun, celakanya kaum sekolahan pura-pura tidak tahu fakta ini. Atau terkesan malah tidak mau tahu soal agenda kepentingan tersembunyi di balik isu anti tembakau global dan ratifikasi FCTC. Indonesia yang tidak meratifikasi traktat FCTC secara inferior selalu didudukkan dan disejajarkan negara-negara miskin seperti Somalia dan Zimbabwe. Sedangkan Amerika yang berjajar pada barisan terdepan kampanye anti tembakau global namun tidak meratifikasi traktat FCTC, malah tidak dipertanyakan secara kritis dan mendasar. Bahkan, sekadar mewartakan informasi tersebut kepada masyarakat pun tidak. Di sisi lain, senyawa tembakau sebagai sumber gejala penyakit masyarakat modern serta merta dianggap benar dan harus diterima taken for granted. Dengan begitu asumsi tujuan dibalik isu anti tembakau global dan FCTC adalah murni kesehatan masyarakat. Dan kucuran dana dari yang menamakan dirinya gerakan filantropis seperti Bloomberg Initiative pun diterima dengan tangan terbuka.
Lantas, pertanyaan lebih jauh ialah mengapa skeptisme dan kritisme beserta sikap jujur yang seharusnya menjadi kredo intelektualitas kaum cendikiawan tiba-tiba menguap hilang? Alih-alih mendedah secara objektif maupun mendudukan berbagai persoalan secara berimbang, yang menggejala justru mereka serta merta turut menggempar isu anti tembakau. Mengapa kaum cerdik pandai kita tiba-tiba dogmatis dan kehilangan nalar kritisnya, serta lebih jauh terkesan bersikap (attitude) laiknya para penganut agama yang fundamentalis ketika berbicara pokok soal isu tembakau?
Berharap Keberpihakan Kaum Sekolahan
Ketika saya melihat iklan-petisi separuh halaman pada sebuah harian media cetak Kompas dan majalah mingguan Tempo, saya mengelus dada prihatin. Teringat tulisan Ben Anderson tentang karakteristik kelas menengah Indonesia. Meski tulisan Ben ditulis jauh hari sebelum gerakan anti tembakau global mekar di tanah air, namun relevansi kritiknya kini masih terlihat relevan untuk membaca kecenderungan politik kelas menengah intelektual yang sangat tercermin dalam isu anti tembakau ini.
Menurut Ben, kelas menengah kita secara politik selalu mengambil posisi ‘aman’. Seturut pendapat Indonesianis lulusan Universitas Cornell ini, kelas menengah kita mengambil peran ‘belantik’ yang berfungsi memakelari kepentingan kapitalisme internasional dan rakyat. Celakanya, dalam konstelasi dan tarik ulur antara kepentingan modal asing dan rakyat, kelas menengah cendekiawan kita ini seringkali lebih memilih berpihak pada kepentingan asing daripada bangsa sendiri.
Dalam isu anti tembakau global, sikap politik kelas menengah cendekiawan menjadi terlihat lebih ironis. Beragam pertanyaan bisa kita lontarkan. Salah satunya ialah soal pilihan isu itu sendiri.
Pertanyaannya ialah, apakah sudah tidak ada isu-isu strategis lain yang lebih krusial bagi agenda masa depan bangsa dibandingkan isu bahaya konsumsi tembakau? Padahal kita tahu kebenaran riset saintifik terkait isu tembakau jelas masih debatable, bahkan di negara-negara maju sendiri. Bukahkah, jika benar-benar concern pada isu kesehatan masyarakat semestinya mereka akan mengadvokasi isu pembatasan pembelian produk-produk industri otomotif, misalnya, yang jelas-jelas tidak hanya menjadi problem terkait besarnya anggaran subsidi negara, tapi juga terkait ancaman polusi udara di kota-kota besar? Bukankah, jika benar-benar peduli isu kemiskinan masyarakat, akan lebih baik jika kaum sekolahan berhimpun menyeru biaya pengobatan murah bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali? Atau berhimpun menyeru upaya penyelamatan industri nasional yang menurut hasil riset LIPI (2009) tengah terancam de-industrialisasi? Atau mengapa juga bukan pada pilihan isu bagaimanana menggalakan agenda pemberatasan korupsi secara besar-besaran dan tidak tebang pilih, jika kita semua tahu kini korupsi telah menjadi gejala kebudayaan yang memiskinkan rakyat? Atau soal maraknya gejala kekerasan primordial berbasis suku maupun keagamaan dan sikap pembiaran negara, mengapa hal ini tidak menjadi concern seriusnya?
Ada banyak isu dan agenda strategis yang krusial bagi perjalanan sejarah Republik, tapi mengapa pilihannya jatuh sekadar pada isu tembakau? Apakah latar belakang pilihan isu yang sesungguhnya, apakah semata-mata kucuran milyaran rupiah dana Bloomberg Initiative?
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.