Kamis, 2 Oktober 2025

Gara-gara Kemben, Film Gending Sriwijaya Diprotes Budayawan

Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu keliru.

zoom-inlihat foto Gara-gara Kemben, Film Gending Sriwijaya Diprotes Budayawan
facebook
Film Gending Sriwijaya

TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu juga dianggap keliru.

"Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi pembiasan sejarah," tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, Minggu (21/10/2012).

Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerjasama dengan Pemprov Sumsel menggunakan dana APBD senilai Rp 11 miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Setelah selsai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerjasama kedua setelah film Mengejar Angin.

Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasaa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi).

Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.

"Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada serangan dari luar kerajaan," tegas Nurhadi.

Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. "Saya berani pasang leher untuk menentang film ini," katanya.

Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengada-ada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya.

Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

"Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu diantara keduanya jauh, berabad-abad," jelasnya.

Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan latarbelakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian melayu ketika itu.

"Kemben yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak mandi," ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar Palembang ini.

Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (dipesankan Slamet Rahardjo), yakni Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan).

"Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja Kerajaan Sriwijaya," tegasnya.

ilm

Sumber: Tribun Sumsel
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved