Kamis, 2 Oktober 2025

Blog Tribunners

Geliat 30 Tahun Bentara Budaya

Kompas tak hanya sekadar koran nasional atau media yang memuat berbagai informasi terkini untuk disampaikan

Penulis: aris setiawan
Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Geliat 30 Tahun Bentara Budaya
Tribun Jakarta/Bian Harnansa
Presiden Komisaris Kompas Gramedia, Jakob Oetama, memberi sambutan saat menerima kenang kenangan dari sejumlah seniman Yogyakarta di dampingi Patung Lilin Pak Jakob pada peringatan 30 Tahun Bentara Budaya di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (26/9/2012). Peringatan 30 tahun lembaga kebudayaan milik Kompas Gramedia mengangkat tema besar Slenco untuk melihat Indonesia dari sisi hati nurani. (TRIBUN JAKARTA/Bian Harnansa)

TRIBUNNEWS.COM - Kompas tak hanya sekadar koran nasional atau media yang memuat berbagai informasi terkini untuk disampaikan kepada publik. Ada amanat dan tanggung jawab besar dalam menjaga detak hidup kesenian dan kebudayaan di Nusantara.

Kompas boleh jadi telah bermetamorfosis, menjadi pelopor satu-satunya media yang memiliki lembaga kebudayaan bernama “Bentara Budaya”. Lembaga tersebut adalah ruang dalam meniti proses bagi para seniman untuk menampilkan karya-karya unggulan mereka. Dan tak terasa, September ini, 30 tahun sudah Bentara Budaya setia menemani dan turut menggores sejarah perjalanan kebudayaan Indonesia dan terutama dalam domain kesenian.  

Tonggak awal berdirinya Bentara Budaya bermula di Yogyakarta. Alkisah, di pertengahan tahun 1982, Jakob Oetama selaku Presiden Direktur Kompas Gramedia berkunjung ke kota pelajar itu. Tujuan utamanya untuk meninjau redaksi Kompas Yogya dan Toko Buku Gamedia di Jalan Jendral Sudirman nomor 54, menempati rumah bekas Gubernur Marah Halim. Hermanu dalam Selayang Pandang Bentara Budaya (2007) menceritakan bahwa saat itu Toko Buku Gramedia sebenarnya sudah pindah ke Jalan Jendral Sudirman nomor 56, sehingga bangunan lama menjadi kosong. Sindhunata selaku wartawan muda kompas waktu itu, menyarankan kepada Jakob Oetama untuk memberi ruang bagi para seniman Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya melalui sebuah lembaga kebudayaan. Jakob Oetama langsung menyetujui ide Sindhunata. Dengan segera beberapa wartawan Kompas seperti GM. Sudarta, Ardus M. Sawega, Rustam Affandi, YB Kristianto dan tentu saja Sindhunata berkumpul untuk merealiasasikan ide tersebut. Keputusannya, tepat pada tanggal 26 September 1982, lembaga kebudayaan di bawah Kompas telah lahir dengan nama Bentara Budaya.

Masyarakat setempat lazim menyebutnya sebagai Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Silih berganti kegiatan kesenian mewarnai hari-hari BBY. Bukan seperti gedung kesenian pada umumnya, BBY justru tidak terkesan sebagai lembaga elite yang megah. Menurut Sindhunata, BBY adalah lembaga kebudayaan yang dengan sengaja berusaha menganggkat seni-seni tradisi yang selama ini telah terpinggirkan, atau jarang mendapat kesempatan tampil di depan publik karena terdistorsi oleh warna seni lain yang lebih gemerlap dan glamor. BBY menjadi medan pembelaan dan keberpihakan terhadap kesenian rakyat semacam ludruk, wayang jemblung dan lain sebagainya. Dengan demikian, adanya BBY seolah ajang pengakuan bagi eksistensi denyut hidup kesenian rakyat.

Tak beselang lama, urgensi untuk mendirikan lembaga sejenis di daerah lain dirasa cukup mendesak untuk direalisasikan. Pada tahun 1986 di Jakarta lahir dengan nama Bentara Budaya Jakarta (BBJ), tahun 2003 di Solo dengan nama Balai Soedjatmoko, dan terakhir di Denpasar dengan nama Bentara Budaya Bali (BBB) pada tahun 2009. Pendirian Bentara Budaya masih tertali erat dari misi awalnya sebagai lembaga kebudayaan non profit. Lembaga tersebut tak pernah menarik biaya khusus bagi para seniman yang hendak tampil. Bahkan jika ada karya lukisan dan sejenisnya yang laku, semua hasilnya kadang diserahkan pada si pengkarya. Harapannya, bisa lebih memacu gairah kreativitas seniman terkait untuk melahirkan karya-karya baru yang lebih menumental.

Lambat laun, Bentara Budaya kemudian bukan hanya hadir sebagai wadah yang menampung gejolak keratif seniman semata, namun juga muara bertemunya berbagai ragam profesi yang saling berinteraksi. Dari masyarakat kelas akar rumput, birokrat, pengusaha dan mahasiwa. Sadar atau tidak, Bentara Budaya ada karena kebutuhan kultural dan merupakan hasil kerja yang dibangun dalam takaran kolektif. Oleh karena itu, tampil di Bentara Budaya bukanlah semata-mata tujuan utama, karena di ruang itu lebih mengedepankan apa yang disebut “proses”. Bentara hanya menjadi labuhan ‘terminal’, alias laboratorium pemberhentian sementara sebelum sebuah karya benar-benar matang dan siap bercengkrama dengan publik yang lebih luas. Karenanya, saat proses itu sendiri dimaknai sebagai bagian dari sebuah tujuan, maka kesediaan melakukan eksplorasi ide-ide baru dan segar adalah cara kerja yang mutlak harus dimunculkan.

Daya tahan untuk hidup dan komitmen 30 tahun Bentara Budaya membuncahkan decak kagum. Terlebih sebagai lembaga kebudayaan “non plat merah” yang masih bertahan hingga kini. Bukan satu hal yang aneh, banyak lembaga kebudayaan muncul namun segera dia akan surut dan mati lagi. Usia yang teruji menjadikan Bantara Budaya sebagai satu-satunya lembaga kebudayaan swasta di bawah Kompas yang keberadaannya cukup diperhitungkan dalam blantika kesenian di nusantara hingga detik ini.  

Di kala lembaga dan gedung kesenian lain berlomba-lomba dalam memfasilitasi aneka kesenian yang sedang populer di tengah-tengah masyarakat urban, Bentara justru mengambil halauan kiri. Di Balai Soedjatmoko Solo misalnya, klenengan gamelan, macapatan, wayang kulit, keroncong diberi porsi tampil reguler. Awalnya banyak yang pesimis, namun kemudian menjadi apresiatif. Terbukti, setiap kesenian itu dihadirkan, banyak masyarakat yang berbondong-bondong menyaksikan. Uniknya, untuk klenengan (konser) gamelan, yang ditampilkan bukanlah kelompok yang sudah mapan atau terkenal. Balai memfasilitasi kelompok ‘gamelan kampung’. Artinya, kampung-kampung di Solo yang selama ini memiliki agenda rutin bermain gamelan dihadirkan kembali lewat Balai.

Apa yang terjadi? Masyarakat pecinta gamelan menjadi lebih bangga, dihormati, karena ruang latihan tak hanya di kampungnya yang hanya ditonton dan dinikmati sendiri. Namun juga di sebuah gedung pertunjukan dengan ditonton dan diapresiasi masyarakat. Otomatis, Balai Soedjatmoko mencoba memberi rangsangan agar kelompok terkait terus bertahan dan tidak malu dengan dunia seni tradisi yang digelutinya. Secara tak langsung pula, Balai telah mampu mengemban misi pelestarian seni tradisi. Bukan hanya mengakomodasi gejolak kesenian rakyat semata, Balai dan juga Bentara lainnya juga memfasilitasi letupan gejolak kreatif generasi muda masa kini. Jazz, musik-musik eksperimental, teater, sastra dan karya seni rupa kontemporer adalah buktinya. Jangan heran kemudian jika pengunjung tetap Bentara Budaya lebih variatif jika dibanding dengan gedung kesenian lain, merasa ikut memiliki dan seolah hadir di rumah sendiri.

Tak hanya ekstase kekaryaan semata, berbagai diskusi dan seminar digelar di Bentara dalam upaya mencari titik simpul kesepahaman dalam memandang garis kebudayaan ke depan. Banyak ide baru dan pemikiran-pemikiran terkini lahir dari gedung itu. Banyak pula mahasiswa mengolah artikulasi keilmuannya, berproses menuju kedewasaan berfikir. Bentara menjadi ajang belajar bagi semua golongan. Sebagai titik peristiwa yang masih akan terus berkelanjutan dalam perjalanan kebudayaan ke depan, Bentara Budaya mengguratkan harapan besar bagi kemajuan kesenian Indonesia.

Namun sayang, agenda-agenda besar Bentara Budaya jarang terbaca publik secara lebih luas. Kompas kadang kala kurang memanfaatkan fasilitas yang dimilikinya. Harian Kompas cetak maupun anak cabangnya misalnya memiliki agenda penayangan kolom rubrik kebudyaan setiap Minggu, namun ekspos terhadap kegiatan Bentara jarang mendapat tempat. Begitu pula dengan versi digitalnya, kadang lebih disibukkan dengan berita bergenre politik semata. Kalaupun ada, biasanya hanya berkisar pada Bentara Budaya Jakarta karena dirasa lebih mudah dijangkau. Sementara Yogya, Solo dan Bali jarang mendapat ruang khusus. Idealnya, semua dapat bersinergi. Harian Kompas cetak dan digital misalnya dapat memberi kolom khusus bagi Bentara pada waktu-waktu tertentu yang berisi uraian berita kegiatan, baik ulasan kritik maupun sekedar review. Harapannya, tentu segala kegiatan yang dibangun Bentara Budaya lebih mampu mencerdaskan publik, diapresiasi dan diperdebatkan secara lebih terbuka, sehingga mampu mambangun iklim berkesenian yang lebih kondusif. Selamat ulang tahun Bentara Budaya.

TRIBUNNERS POPULER

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved