Menkes: Pemerintah tak Ingin Petani Tembakau Menderita
Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi menyatakan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengamanan Zat Adiktif pada Produk Tembakau (RPP

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi menyatakan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengamanan Zat Adiktif pada Produk Tembakau (RPP Tembakau) yang mengatur komposisi kandungan zat rokok adalah demi kebaikan petani tembakau.
Sebab, pengalaman dari negara lain, tembakau bisa diganti dengan tanaman jenis lain yang hasilnya lebih baik.
"Tentu keinginan kami adalah petani tembakau tidak menderita," ujar Nafsiah di gedung DPR, Jakarta, Senin (9/7/2012).
Nafsiah mengklaim bahwa pemerintah sudah mendengarkan masukan dari para petani tembakau sebelum finalisasi pengesahan RPP Tembakau. Namun, ia tak menjelaskan pihak petani tembakau mana yang diajak bicara pemerintah tersebut.
Menurut Nafsiah, sebenarnya petani tembakau yang mengatakan penghasilannya kecil dan yang merauk keuntungan adalah para tengkulak.
"Dan mereka menyatakan mereka telah dipermainkan. Oleh karena itu, Litbang (penelitian dan pengembangan) melakukan penelitian-penelitian tentang tanaman perdagangan yang lebih menguntungkan bagi petani," ujarnya.
Nafsiah kembali menjelaskan, bahwa RPP Tembakau ini bukan bentuk aturan pelaranganan menanam tembakau bagi petani. Sebab, tujuan utama RPP ini adalah mengukur dan meminimalisir bahaya sekecil apapun dari zat yang terkandung dalam rokok, seperti tar dan nikotin.
Dengan aturan ini diharapkan bisa melindungi kaum perempuan, terutama ibu hamil, dan anak-anak.
"Tidak ada larangan untuk bikin rokok, bahkan tidak ada larangan untuk merokok. Namun, pemerintah berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari zat-zat berbahaya yang ada di dalam rokok tersebut," kata Nafsiah.
Selain itu, pemerintah juga ingin mengatur besarnya dan isi dari iklan rokok di masyarakat. "Karena cukup banyak iklan menilai, bahwa merokok itu keren, tapi tidak diberitahu bahwa itu dapat merugikan kesehatan masyarakat. Jadi, RPP lebih kepada persoalan itu," jelasnya.
Nafsiah membantah bahwa RPP ini disusupi kepentingan pabrik rokok asing, khususnya pabrik yang mempunyai pangsa pasar rokok putih di Indonesia.
"Justru kita sebenarnya punya pabrik rokok, tapi itu sudah dibeli oleh Philips Morris. Karena di negaranya (Amerika Serikat) sendiri dilarang, tapi mereka mau membunuh kita. Sebenarnya Indonesia harus lebih smart (pintar), kita harus lebih pintar sehingga tidak membiarkan pabrik rokok asing yang memperoleh keuntungan, itu merusak wanita dan anak-anak," tandasnya.
Ia menambahkan, RPP Tembakau telah disusun dalam rapat koordinasi Menkokesra dan Menko Perekonomian, dan kini tinggal menunggu tanda tangan pengesahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Insya Allah RPP ini akan diselesaikan secepatnya dan ditandatangani Presiden. Sudah saatnya kita melindungi rakyat," ucap mantan aktivis penanggulangan HIV dan AIDS tersebut.
Sebelumnya, para pengusaha rokok kretek kecil-menengah nasional dan para petani tembakau, khawatir dengan salah satu pasal di RPP itu yang akan mewajibkan pembuktian keamanan atas bahan tambahan dari produk tembakau.
Aturan itu tidak menjadi masalah bagi produsen rokok putih asing. Namun, bagi produsen rokok kretek yang mengandung bahan tambahan mulai dari cengkeh, saus, hingga rempah-rempah khusus, pasal ini membuat mereka ketar-ketir.
Produsen rokok kretek yang berskala kecil dan menengah, akan mendapat kewajiban pembuktian pra-produksi yang memakan ongkos tinggi sehingga bisa berdampak pada kenaikan harga eceran. Jika kondisi tersebut memburuk bisa membuat mereka lebih memilih menjual usahanya ke pihak asing.