Satya: Bencana Lumpur Lapindo Jangan Dipolitisasi
Kalangan Komisi VII berharap masyarakat hendaknya proporsional dalam melihat persoalan kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kalangan Komisi VII berharap masyarakat hendaknya proporsional dalam melihat persoalan kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur.
Pemahaman yang utuh akan latar belakang, persoalan tehnis, penyebab semburan, dan komitmen dari Keluarga Bakrie untuk ikut menyelesaikan dampak semburan, niscaya memberikan kesadaran dan pemahaman yang utuh.
“Sebaiknya hentikan politisasi kasus lumpur panas ini. Sebab hanya akan menambah resah masyarakat yang terkena dampak dan membuat kasus ini terus menerus menjadi obyek pihak yang tidak bertanggungjawab,” ujar Anggota Komisi VII bidang pertambangan dan energi DPR RI Satya W Yudha, Senin (28/5/2012).
Menurut Satya, keluarga Bakrie telah menunjukkan komitmen moral yang sangat tinggi. Walaupun saham Bakrie di PT Lapindo Brantas –perusahaan yang melakukan pengeboran di sana dan kini selalu dikaitkan dengan nama lumpur yaitu Lumpur Lapindo- hanya sekitar 30 di PT Energi Mega Persada, salah satu dari beberapa perusahaan yang bergabung dalam Lapindo Brantas.
Komitmen moral itu kata Satya, diperlihatkan dengan melaksanakan perjanjian jual beli tanah dan bangunan milik keluarga yang terkena dampak semburan lumpur. Bahkan keluarga Bakrie membayar 10 kali lipat dari harga Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah.
Tanah bersertifikat dihargai Rp 1 juta per meter persegi sementara tanah dengan bangunan di atasnya dipatok Rp 1,5 juta per meter persegi. Sejak tahun 2006 hingga saat ini, lebih 9 ribu kepala keluarga telah diselesaikan akte jual beli, sisanya akan diselesaikan dalam tahun ini.
“Jadi dalam kasus lumpur panas di Sidoardjo, tidak ada istilah ganti rugi. Yang ada adalah ganti untung,” ujar Satya W Yudha yang berasal dari Fraksi Partai Golkar ini.
Satya juga menegaskan bahwa hasil temuan Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo atau TP2LS yang dibentuk 4 September 2007 dan dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, dalam laporan rapat paripurna Dewan 29 September 2009 menyimpulkan bahwa penyebab semburan lumpur adalah fenomena alam. Gejala alam ini juga menurut TP2LS juga terjadi di sejumlah daerah dan beberapa negara.
Keputusan DPR RI soal sebab semburan lumpur ini juga dikuatkan dengan keputusan MA pada 3 April 2009 inkracht (berkekuatan hukum tetap) bahwa semburan lumpur terjadi karena fenomena alam dan bukan akibat kegiatan penambangan perusahaan. Begitu juga pada 5 Agustus 2009 Kepolisian Daerah Jawa Timur juga telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
“Dari sisi hukum, kita semua tahu bahwa tidak ada masalah dengan PT Lapindo Brantas, apalagi dengan Keluarga Bakrie. Nah, pemahaman inilah yang perlu ditegaskan di tengah upaya politisisasi yang terus dilakukan pihak tertentu,” ujar Satya.
Lebih lanjut Satya menyatakan komitemen dan ketulusan dari Kelurga Bakrie untuk menyelesaikan sisa dari perjanjian jual beli tanah dan bangunan pasti akan dilaksanakan.
“Jika masih ada yang terus melakukan politisasi, maka membuat masalah lumpur panas jadi tidak proporsional," katanya.