Indonesia, Anggota G-20 dengan Ranking Birokrasi 129
Pengamat ekonomi dan politikus, Didik J Rachbini, menilai Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan na
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA, - Pengamat ekonomi dan politikus, Didik J Rachbini, menilai Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan nama besar sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia untuk menarik investor asing. Status tersebut perlu diikuti perbaikan layanan birokrasi.
“Indonesia anggota G-20, tapi ranking birokrasinya 129, sangat rendah,” Ungkap Didik J Rachbini
Dalam seminar bertema "Demokrasi dan Reformasi Birokrasi di Jakarta" yang diselenggarakan di Gedung Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (21/5/2012), Didik yang menjadi narasumber menegaskan bahwa birokrasi belum berperan besar dalam mendukung status Indonesia sebagai kekuatan ekonomi.
"(Indonesia) anggota G-20, tapi ranking birokrasinya 129, sangat rendah," kata Didik mengutip data yang dirilis Bank Dunia. Data tersebut mengacu pada besarnya biaya dan lamanya perizinan yang dibutuhkan investor. Dengan posisi tersebut, Indonesia bahkan masih menduduki peringkat bawah di antara negara-negara lain di Asia Tenggara.
Hal ini berbeda jauh dari posisi negara tetangga kita, Singapura, yang menduduki ranking pertama dalam rilis yang dikeluarkan Bank Dunia. Untuk lamanya proses perizinan di Singapura, misalnya, investor hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan segala prosedur. Sementara itu, untuk proses serupa, waktu yang dibutuhkan di Indonesia mencapai tiga bulan. "Itu pun kalau sudah ditambah duit-duit siluman. Kalau enggak, bisa lebih lama lagi," kata Didik.
Didik berpendapat bahwa hal itu tidak lepas dari manajemen birokrasi yang kurang bersih dan transparan. Birokrasi juga kerap kali disibukkan oleh tugas dan peran lain, contohnya terjadi di Jakarta. "Birokrasi sudah kinerjanya buruk masih diseret-seret ke politik. Ini mengakibatkan demoralisasi," ujar Didik, yang kini mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI Jakarta.
Ia mengatakan, fungsi birokrasi dan pemerintah sebenarnya adalah untuk mendorong iklim investasi. Hal itu hanya bisa terwujud bila biaya siluman dan ruwetnya perizinan yang dibebankan kepada investor dapat dikurangi. "Kalau harus bolak-balik ke sana kemari dan kalau biaya silumannya lebih besar dari gaji karyawan, investor juga akhirnya mikir-mikir untuk investasi di sini," ujar Didik. / (Kompas.com)