Senin, 29 September 2025

Waktunya Muda Mudi Dapat Wawasan

Wadidaw! Aksi Damai Ternyata Lebih Efektif dari Anarkis, Ini Buktinya

Apakah ada cara lain agar aspirasi bisa tersampaikan dengan efektif tanpa harus menimbulkan korban? Tentu Bisa. 4 Negara ini telah membuktikannya.

|
Tribunnews.com/ Chaerul Umam
DEMONSTRASI DPR - Aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (29/8/2025) kembali memanas hingga malam hari. Berdasarkan pantauan Tribunnews.com di lokasi, demonstran melempar petasan ke halaman Kompleks Parlemen. 

TRIBUNNEWS.COM - Barikade polisi, kerumunan massa, dan orasi lantang yang menyuarakan tuntutan adalah potret yang melekat di setiap aksi demonstrasi. Tak ada yang salah dengan hal ini, karena memang begitulah salah satu cara masyarakat untuk menyampaikan aspirasi.

Di Indonesia, UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjadi wujud nyata bahwa negara mengakui dan melindungi kebebasan berpendapat. 

Artinya, jika masyarakat merasa ada kebijakan yang tidak adil, mereka berhak untuk turun ke jalan dan memperjuangkan keadilan.

Sayangnya, unjuk rasa seringkali berakhir dengan kericuhan yang bahkan bisa merenggut nyawa. Tak jarang pula fasilitas umum seperti halte, gedung-gedung, dan taman kota, ikut menjadi korban. Padahal, kerugian ini bisa menjadi boomerang bagi para demonstran dan mirisnya membuat aspirasi utama malah tenggelam.

Lantas, apakah demonstrasi harus selalu diwarnai dengan kerusuhan? Apakah ada cara lain agar aspirasi bisa tersampaikan dengan efektif tanpa harus menimbulkan korban?

Cara Kreatif Negara Lain Menyuarakan Aspirasi

Ada beberapa negara yang masyarakatnya memiliki cara kreatif dalam menyalurkan aspirasi, bahkan ada yang akhirnya menjadi ciri khas pergerakan sipil di negara tersebut. 

  • Islandia

Protes pernah dilakukan dengan memukul panci dan wajan di depan parlemen. Aksi yang dikenal dengan ‘Pots and Pans Revolution’ ini merupakan wujud kekecewaan publik terhadap kegagalan pemerintah dalam menangani krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008.

Suara dentuman logam yang nyaring dan memekikkan telinga itu menjadi simbol kemarahan rakyat sekaligus media protes yang efektif.

Mengutip dari independent.co.uk, perjuangan warga Islandia berhasil menekan Perdana Menteri Geir Haarde beserta kabinetnya untuk mengundurkan diri pada Januari 2009.

Baca juga: Fasilitas Umum yang Rusak Pasca Aksi Demo Akan Direhabilitasi

  • Hong Kong

Pernahkah kamu mendengar ‘The Hong Kong Way’? Istilah ini merujuk pada aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga Hong Kong pada tahun 2019. 

Terinspirasi dari ‘Baltic Way’ di tahun 1989, sekitar 200 ribu orang memperlihatkan solidaritas dengan bergandeng tangan membentuk rantai manusia sepanjang  28 mil atau setara dengan 45 kilometer. 

Dilansir dari NBC News, para demonstran menyampaikan sejumlah tuntutan, mulai dari pembatalan RUU Ekstradisi, menuntut kebebasan demokratis, pengunduran diri Kepala Eksekutif Carrie Lam, dan menyelidiki dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi seiring dengan maraknya tindak kekerasan dalam aksi unjuk rasa.

Candlelight vigil in Korea
  • Korea Selatan

Dalam menyuarakan aspirasinya, penduduk Negeri Ginseng identik dengan unjuk rasa cahaya lilin (candlelight vigil) sebagai ciri khas pergerakan sipil yang senyap, damai, namun efektif.

Salah satu kasus pertama yang tercatat terjadi pada tahun 2002, ketika dua siswi sekolah menengah tewas ditabrak oleh kendaraan militer AS. Kemudian, pada 2008, jutaan warga kembali turun ke jalan untuk memprotes impor daging sapi AS yang diduga tercemar.

Puncak dari gerakan ini terjadi pada tahun 2016, ketika jutaan orang berpartisipasi dalam candlelight vigil untuk menuntut pengunduran diri Presiden Park Geun-hye. Protes ini akhirnya berhasil dan menjadi salah satu contoh paling ikonik dari kekuatan rakyat.

Menurut sebuah jurnal yang dipublikasi pada tahun 2025, aksi ini terus berlanjut. Jutaan masyarakat Korea Selatan kembali menyalakan lilin di akhir tahun 2024 untuk menuntut Presiden Yoon mundur dari jabatannya.

  • India

Kurang lengkap rasanya kalau nggak membahas aksi legendaris pejuang kemerdekaan negara yang dijuluki Anak Benua, yaitu Mahatma Gandhi.

Pada 12 Maret 1930, Bapak Bangsa India ini memulai sebuah pawai untuk memprotes tingginya pajak garam yang dipatok oleh pemerintah kolonial Inggris. 

Meski idenya ini dianggap remeh remeh, Gandhi tetap melanjutkan perjuangannya dengan berjalan kaki sejauh 240 mil atau sekitar 380 kilometer, dan berhasil mengumpulkan ribuan pengikut dalam perjalanannya.

Setibanya di Dandi, ia melanggar hukum dengan membuat garam sendiri dari air laut. Aksi sederhana ini memicu gelombang pembangkangan sipil di seluruh India. 

Walau akhirnya ia dan ribuan orang lain ditangkap, Pawai Garam (Salt March) berhasil menarik perhatian dunia dan menjadi simbol kuat perlawanan damai, serta menginspirasi rakyat India untuk berjuang demi kemerdekaan.

Baca juga: Bahaya Gas Air Mata: Kandungan, Efek Kesehatan, dan Cara Penanganannya

Pada 12 Maret 1930, Mahatma Gandhi memulai sebuah pawai untuk memprotes tingginya pajak garam yang dipatok oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pada 12 Maret 1930, Mahatma Gandhi memulai sebuah pawai untuk memprotes tingginya pajak garam yang dipatok oleh pemerintah kolonial Inggris. (MK.Gandhi.org)

Apa yang Bisa Kita Petik?

Dari semua contoh tadi, ada satu benang merah yang bisa kita simpulkan. Ternyata, aspirasi itu bisa disampaikan dengan cara yang beragam dan unik. Tak melulu identik dengan bentrokan atau perusakan, tapi bisa juga menjadi ekspresi budaya, kreativitas, bahkan simbol persatuan masyarakat.

Di tengah masifnya digitalisasi, sebagai generasi muda, kita bisa menyuarakan aspirasi tanpa harus turun ke jalan. 

Petisi online, tagar di media sosial, hingga konten viral di TikTok dan Instagram telah menjadi “jalan baru” untuk berdemonstrasi. Aksi digital ini tidak hanya menyebarkan isu lebih cepat, tetapi juga mampu menjangkau audiens lebih luas lagi, bahkan sampai ke layar regulator.

Perlu kita sadari bahwa demo itu bukan soal siapa yang paling bising atau siapa yang mampu bikin rusuh. Sekarang ini kita punya modal yang besar, mulai dari kreativitas, teknologi, dan jaringan digital.

Pada akhirnya, perubahan itu lahir bukan dari situasi yang ‘chaos’, melainkan dari ide cerdas yang disampaikan dengan cara berwawasan.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan