Tribunners / Citizen Journalism
Inspirasi Cinta Lingkungan dari Lapangan Banteng
Meskipun digelar di pusat kota, jauh dari rimba dan laut lepas, Flona menyajikan miniatur keragaman hayati yang semakin langka di kehidupan urban
Oleh: Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
TRIBUNNERS - Pada 4 Agustus 2025, saya berkesempatan mengunjungi Pameran Flora dan Fauna (Flona) di Taman Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Bersama lima sahabat, saya berjalan menyusuri deretan stan tanaman hias, satwa peliharaan, dan hasil kreasi dari berbagai wilayah administratif DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu.
Di tengah rindangnya pepohonan dan riuh pengunjung, saya merasakan pengalaman yang melampaui kesenangan visual.
Flona tahun ini, bagi saya, menghadirkan ruang kontemplatif mengenai pendidikan, budaya Adiwiyata, dan tanggung jawab moral kita terhadap keutuhan ciptaan.
Meskipun digelar di pusat kota, jauh dari rimba dan laut lepas, Flona menyajikan miniatur keragaman hayati yang semakin langka di kehidupan urban.
Tanaman langka, hewan peliharaan eksotik, hingga produk-produk hortikultura warga memperlihatkan bahwa relasi manusia dengan alam belum sepenuhnya terputus.
Akan tetapi justru karena dipertunjukkan dalam ruang yang terkurung beton dan aspal, Flona mengusik pertanyaan mendasar: apakah kita, sebagai warga kota modern, masih mampu melihat alam sebagai subjek yang patut dihormati, bukan sekadar objek konsumsi?
Baca juga: Bingung Malam Minggu Ngapain? Yuk Intip 6 Event Seru yang Bisa Kamu Kunjungi di Akhir Pekan Ini
Pendidikan kita kerap berfokus pada kemampuan kognitif, nilai ujian, dan pencapaian kurikuler. Namun, tantangan masa kini menuntut dimensi lebih dalam: pendidikan untuk hidup berkelanjutan.
Dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), Paus Fransiskus menekankan pentingnya pendidikan ekologis yang membentuk gaya hidup baru, bukan sekadar penguasaan konsep ilmiah. Pendidikan lingkungan, menurutnya, sangat perlu menumbuhkan kesadaran batiniah bahwa segala sesuatu di alam ini terhubung secara mendalam.
Kunjungan ke Flona menghadirkan pembelajaran kontekstual yang jarang didapat di ruang kelas. Anak-anak yang melihat langsung berbagai jenis flora dan fauna akan lebih mudah memahami nilai kehidupan, siklus alam, dan pentingnya merawat makhluk hidup. Alih-alih hanya menonton video dokumenter atau membaca buku teks, mereka mengalami proses belajar lewat pancaindra, yang dapat memperkuat daya ingat dan empati ekologis.
Karena itu, pameran semacam Flona seharusnya dijadikan bagian dari agenda pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah. Jika pendidikan ingin menjawab tantangan ekologis abad ini, maka interaksi langsung dengan alam—meski melalui ruang buatan seperti pameran—perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum. Ia bukan sekadar kegiatan ekstra, tetapi metode pedagogis transformatif.
Program Adiwiyata yang dijalankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sejatinya membawa semangat luhur, yakni menjadikan sekolah sebagai tempat lahirnya warga peduli dan berbudaya lingkungan. Namun, dalam implementasi sering kali terjebak dalam simbolisme. Banyak sekolah berhenti pada level formalitas administrasi demi memperoleh predikat “sekolah Adiwiyata,” tanpa benar-benar menghidupkan budaya merawat bumi dalam praktik sehari-hari.
Apa yang saya saksikan di Flona membuktikan bahwa budaya ekologis tidak bisa dibentuk dengan pendekatan formal semata. Ia lahir dari kedekatan afektif antara manusia dan alam. Para penjaga stan tanaman, pe-hobi reptil, atau perajin bonsai tidak semata menjual produk, melainkan merawat kehidupan.
Mereka mengenal makhluk yang mereka bawa layaknya sahabat, bukan barang dagangan. Relasi semacam inilah yang mestinya menjadi ruh Adiwiyata, yaitu membentuk kepribadian yang sadar akan tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari masyarakat dan warga dunia.
Sekolah-sekolah sebaiknya mulai mengadopsi praktik konkret: taman sekolah yang benar-benar dikelola siswa, program tanam dan rawat pohon berkelanjutan, pengelolaan sampah berbasis nilai edukatif, hingga keterlibatan dalam kegiatan publik seperti Flona. Adiwiyata bukanlah sertifikat untuk dipajang, tetapi kebiasaan hidup yang diwariskan.
Flona, dalam lanskap urban Jakarta, bisa dibaca sebagai manifestasi kecil dari semangat ekologi integral yang digaungkan Laudato Si’. Paus Fransiskus menyatakan bahwa segala sesuatu saling berkaitan, yakni lingkungan hidup, keadilan sosial, budaya, dan spiritualitas. Maka, merawat bumi bukan hanya agenda para pecinta lingkungan, tetapi juga panggilan moral bagi siapa saja yang percaya bahwa hidup manusia tidak terlepas dari makhluk lainnya.
Pertobatan ekologis, istilah yang digunakan dalam ensiklik itu, bukan berarti perubahan religius semata, tetapi perubahan cara pandang dan cara hidup. Kita diajak untuk tidak lagi memandang bumi sebagai “milik manusia” yang bisa dieksploitasi sesuka hati, melainkan sebagai rumah bersama (common home) yang perlu dijaga dan dihormati.
Baca juga: Keunikan Bentang Alam Indonesia, Keindahan Surga Tropis yang Patut Dijaga
Flona, dalam skala mikro, menunjukkan bahwa relasi resiprokal itu mungkin. Ketika warga merawat tanaman dan hewan, mereka sesungguhnya sedang membangun peradaban yang lebih beradab.
Sayangnya, di tengah krisis iklim global dan degradasi ekologis akut, kesadaran seperti ini masih menjadi wacana pinggiran. Dunia pendidikan dan kebijakan publik belum menjadikan spiritualitas ekologis sebagai kerangka utama. Sementara itu, generasi muda makin terjebak dalam gaya hidup digital yang membuat hubungan mereka dengan alam makin renggang.
Pameran Flona di Lapangan Banteng mungkin hanya berlangsung sesaat, tidak sampai bulanan, namun ia menyimpan potensi pembelajaran yang tak lekang waktu. Ia memperlihatkan bahwa di tengah kota, ruang perjumpaan antara manusia dan alam masih mungkin terjadi. Namun, perjumpaan itu akan sia-sia bila tidak disambut dengan kesadaran dan tindakan nyata.
Sudah saatnya pameran semacam ini dijadikan bagian dari ekosistem pendidikan ekologis nasional. Pemerintah daerah, sekolah, komunitas, dan lembaga keagamaan perlu membangun sinergi yang lebih serius dalam menumbuhkan budaya cinta lingkungan. Laudato Si’ telah memberikan arah spiritual dan etis; Adiwiyata memberi kerangka kelembagaan; dan pameran seperti Flona memberi ruang konkret untuk menghidupi semuanya.
Jika kita sungguh ingin meninggalkan bumi yang layak huni bagi generasi mendatang, maka langkah pertama bukanlah menunggu perubahan global, melainkan menumbuhkan perubahan lokal—dari ruang publik, dari sekolah, dari taman kota, dari hati masing-masing.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
URC Tolak Driver Ojek Online Tak lagi jadi Mitra Mandiri |
![]() |
---|
Spesialis Jambret Angkot di Kawasan Lapangan Banteng Jakpus Disergap Sat Reskrim Polres Jakpus |
![]() |
---|
Rute Transjakarta, MRT, LRT, KRL ke Acara Puncak Perayaan HUT Jakarta 2025 di Lapangan Banteng |
![]() |
---|
Rekayasa Lalu Lintas saat Acara Puncak HUT ke-498 Jakarta, Simak Rute Alternatifnya di Sini |
![]() |
---|
Detik-Detik Mahasiswa Kedokteran Dibegal di Lapangan Banteng, iPad dan Uang Rp500 Ribu Raib |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.