Tribunners / Citizen Journalism
Tanggung Jawab Forwarder dan Carrier
Jarang eksportir langsung menggunakan liner atau carrier dalam pengankutan intermoda (kontainerisasi) karena forwarder lebih fleksibel
Oleh : Henry Sitanggang, SH, Praktisi Angkutan Internasional
TRIBUNNERS - Hampir 90 persen perdagangan dunia dilakukan melalui angkutan laut. Pengangkutan muatan antarnegara juga diurus oleh suatu jasa yang dinamakan freight forwarder.
Pada umunya freight forwarder tidak memiliki kapal.
Mereka menggunakan kapal dan/atau kontainer dari perusahaan pelayaran dan mereka telah menyepakati suatu tarif angkutan per kontainer dengan perusahaan pelayaran.
Jarang eksportir langsung menggunakan liner atau carrier dalam pengankutan intermoda (kontainerisasi) karena forwarder lebih fleksibel dan bisa memilih kapan saja akan mengirim muatan ke pelabuhan di manca negara dengan menggunakan kapal siapa saja.
Misalnya sebuah perusahaan di Bandung ingin meng ekspor tekstil atau terpentine ke rotterdam.
Ada banyak pelayaran yang melayani jadwal pengapalan dari Jakarta ke Rotterdam, tetapi pengangkutan dari Bandung ke Rotterdam tentu tidak dilayani oleh carrier .
Baca juga: Kapal Kargo Rusia Tenggelam di Laut Mediterania, Pemilik Tuding Karena Serangan Teroris
Eksportir di Bandung dapat memilih forwarder untuk mengatur kapal siapa yang akan dipakai untuk mengangkut kargo dari Bandung misalnya terpentine ke Rotterdam.
Meskipun pelayaran NOL misalnya atau CGN maersk line melayani pengapalan ke Rotterdam, tetapi jadwal keberangkatan kapal mulai dari Jakarta mungkin tidak pas dengan ketersediaan kargo dari Bandung karena kargo terpentine harus diangkut dengan ISO tank dari Bandung melalui jalan tol Padalarang menuju pelabuhan Tanjung Priok.
Ketika kargo terpentine tiba di Tanjung Priok mungkin jadwal kapal NOL telah berangkat tadi malam jam 10 padahal kontainer baru tiba jam 12 malam, sehingga mau tidak mau muatan tersebut harus di booking dengan feeder service dari Jakarta ke Singapore untuk connecting dengan mother vessel NOL dari Singapore untuk pelabuhan Rotterdam.
Oleh karena itu forwarder akan mengatur bahwa ISO Tank tersebut akan dikirim misalnya melalui feeder service PIL atau RCL ke Singapore untuk selanjutnya diangkut ke mother vessel dari Singapore ke Rotterdam. Tetapi eksportir tentu harus memenuhi persyaratan LC tentang antara lain latest shipment dan partial shipment maupun usia kapal.
Jadi penggunaan jasa forwarder lebih fleksibel karena ia dapat menyesuaikan dengan ETD (estimated time of departure) kapal dan dicocokan dengan persyaratan LC tentang latest shipment agar muatan tersebut nanti dapat dibayar oleh impotir berdasarkan LC yang dibuka kepada confirming bank dari eksportir di Bandung.
Bagaimana kalau terjadi misalnya kelambatan atau kerusakan kargo?
Jika terjadi kelambatan pengiriman yang melanggar persyaratan LC maka LC tidak akan dibayar kecuali di revisi tentang latest shipmentnya.
Jika kargo ternyata terkontaminasi, maka perlu dicari dimana letak terjadinya masalah: apakah ketika dimuat di Bandung?
Jika kargonya berupa udang beku, yang ternyata membusuk, siapa yang harus bertanggung jawab, apakah forwarder, liner, atau port authorities?
Jika kargonya adalah perishable yang harus menggunakan reefer container yang dapat menjaga suhu kargo selama perjalanan.
Untuk mendeteksi dimana terjadi kerusakan atau kebusukan atas pengiriman udang tersebut, apakah terjadinya sejak dari pemuatan atau sejak kargo tiba di Pelabuhan, atau tiba di Singapore atau di Rotterdam, diperlukan suatu analisa dan pemahaman yang seksama.
Jika kargonya berupa chemical, misalnya suatu zat kimia dimana selama perjalanan suhu harus dijaga agar muatan tersebut tidak rusak dan suhu maintenance harus ditaati agar tidak terjadi product discoloration.
Jadi untuk mendeteksi pertanggung jawaban, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan kargo diperlukan analisi yang seksama untuk menentukan siapa atau siapa saja yang harus bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Jika kerusakan tersebut akibat dari kelalaian liner, maka pelayaran bertanggung jawab atas busuknya udang atau daging atau atas dasar rusaknya chemical kargo yang dikirim oleh liner tersebut.
Jila kerusakan terjadi di pelabuhan muat di Indonesia maka pelindo turut bertanggung jawab.
Jika ternyata truk yang digunakan forwarder mengangkut reefer kontainer tidak memenuhi syarat atau electrical plug maka forwader dapat dipertanggung jawabkan.
Jika shipper di pelabuhan muat yang lalai menset suhu reefer kontainer maka shipper bertanggung jawab.
Jika muatannya kimia yang kemudian muatan rusak atau penguapan melebihi batas toleransi sekitar 5%, dapat diduga bahwa ISO Tank tersebut tidak memenuhi persyaratan atau mungkin safety valvenya tidak bekerja.
Demikian kompleksitasnya pengangkutan kargo antar negars apabila terjadi kerusakan, kapal tenggelam, keterlambatan shipment, pengiriman yang tidak sesuai LC term.
*) Penulis adalah praktisi angkutan internasional sejak 38 tahun yang lalu setelah lulus dari UGM dan pernah menjadi country rep dari stolt nielsen Norway dan pernah menjadi world speaker dalam seminar angkutan kimia sedunia. Kami melayani segala konsultasi hukum free of charge untuk segala intermodal baik untuk muatan kimia, gas, dry container, dan sebagainya melalui email
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pil Pahit dalam Kepailitan dan Perlunya Atensi Khusus dari Pemerintah |
![]() |
---|
Akibat-akibat Hukum dari Kepailitan |
![]() |
---|
Kurator Sritex Harus Memburu: Mengapa Utang Bisa Menggunung Rp21 Triliun? |
![]() |
---|
Seluruh Maskapai Low Cost Carrier di Bandara Soetta Bakal Tempati Terminal 1 |
![]() |
---|
Being 737 Jeju Air Nahas Sehari Terbang ke 4 Negara, Perawatan Pra-Keberangkatan Cuma 28 Menit |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.