Tribunners / Citizen Journalism
Hukum yang Adaptif: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Kehidupan Masa Depan yang Adil
Hukum adaptif melengkapi hukum positif dengan ruh yang selama ini terabaikan. Ruh itu bernama hati nurani aparat penegak hukum.
Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Seorang pedagang sayur tiba-tiba menangis. Dua menit lalu dia ditipu.
Seluruh uang direkeningnya ludes tak tersisa. Uang itu berpindah ke rekening orang lain yang namanya terpampang jelas.
Kasus itu telah ia laporkan. Akan tetapi karena adanya benturan kebijakan, kasus itu tak kunjung selesai.
Pelaku yang namanya jelas, alamatnya pun mungkin bisa diketahui, tetap tak terlacak dan ditindak karena ada kerahasiaan data di bank yang super ketat. Akhirnya dia harus ikhlas.
Di tempat yang lain, ada seorang bocah dibawa ke kantor polisi. Tak lama berselang, karena kedapatan dan terbukti mencuri, kemudian si bocah menjadi penghuni hotel prodeo.
Memang benar dia mengambil barang milik orang lain. Dia salah.
Namun, itu dilakukan bukan tanpa alasan yang cukup. Dia mencuri karena tak memiliki uang untuk membeli obat bagi ibunya yang sedang sakit-sakitan.
Di seberang pulau sana, seorang wanita muda terpaksa harus menahan tangis. Dia dipersalahkan karena upayanya membela diri.
Saat itu, ia diajak melakukan hal tidak baik oleh atasannya. Ucapan sang atasan dia rekam. Dia dokumentasikan percakapan itu agar dapat menghentikan niat jahat atasannya.
Nahas, karena satu kecerebohan kecil, dia justru dijerat hukum.
Dia dituduh mengirimkan konten bernuansa negatif/pornografi yang mana konten itu sesungguhnya adalah hasil rekaman ucapan sang atasan. Wanita itu adalah Baiq Nuril.
Baca juga: Manifesto Hukum Adaptif: Melampaui Teks, Merengkuh Keadilan
Zaman Berubah
Tiga kasus di atas hanya contoh kecil. Di luar sana masih banyak kasus lain yang tak kalah menyayat hati. Yang terjadi berulang, terus menerus, dengan berbagai macam motif.
Ke depan, kasus-kasus serupa diprediksi akan lebih banyak kita temui. Pemicunya adalah zaman yang berubah dan bergerak lebih cepat dari perubahan aturan hukum sendiri.
Relasi sosial, nilai, bahkan kesadaran hukum berkembang mengikuti perkembangan zaman. Sementara teks hukum biasanya terlambat.
Teks hukum tak dapat mengikutinya. Sebab teks hukum selalu perlu waktu panjang nan birokratis untuk berubah.
Hukum Adaptif
Atas kenyataan itu, maka kita perlu hukum dengan konsep dan model yang baru. Hukum yang tidak kaku dan tidak terjebak pada teks dan konteks sosial budaya masa lalu.
Hukum yang mampu beradaptasi dengan cepat dan mengikuti zamannya. Konsep hukum yang baru itu adalah hukum adaptif.
Sebuah tawaran pemikiran yang berangkat dari pengamatan empiris, refleksi teoritik, dan kegundahan penulis akan nasib hukum itu sendiri di masa depan.
Posisi Hukum Adaptif
Hukum adaptif bukan lahir dengan maksud untuk menggantikan hukum positif.
Hukum adaptif malahan melengkapinya dengan ruh yang selama ini terabaikan. Ruh itu bernama hati nurani aparat penegak hukum.
Hukum adaptif juga tidak mengancam keberadaan hukum responsif.
Hukum adaptif justru menambah standar pijakan yang lebih berani terhadap hukum responsif.
Standar itu adalah tindakan afirmatif atau tindakan untuk berani berpihak pada keadilan.
Tindakan mengoreksi distribusi keadilan yang ternyata dalam kenyataan sosial tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Operasionalisasi hukum adaptif hadir dengan tiga pilar utama: niat baik, kontekstual, dan keputusan yang afirmatif.
Tiga Pilar Hukum Adaptif
Pilar pertama dari hukum adaptif adalah niat baik. Keadaan yang akan datang tentu membutuhkan hukum yang lebih fleksibel.
Hukum yang bisa cepat diterapkan dengan tujuan keadilan.
Hukum yang bisa diubah baik dalam upaya menyelesaikan persoalan maupun melakukan perubahan aturan.
Perubahan itu tentu perlu alasan. Alasan yang pertama itu adalah kepemilikan akan niat baik.
Dalam Hukum Adaptif, suatu tindakan dapat dikatakan memenuhi kriteria niat baik apabila dilakukan dengan tiga alasan.
(1) tindakan itu tidak ditujukan untuk kepentingan pribadi, (2) tindakan itu murni bertujuan untuk menyelesaikan masalah sosial, serta (3) tindakan yang dilakukan itu secara etika dan secara kesepakatan sosial di masyarakat diakui sebagai tindakan yang tepat.
Niat baik bukan sekadar motif tetapi struktur moral yang dapat dikaji dan dikenali.
Pilar kedua dalam hukum adaptif adalah tindakan yang dilakukan pengambil kebijakan maupun aparat penegak hukum harus memperhatikan konteks sosial.
Konteks sosial dalam pandangan hukum adaptif berarti tindakan yang dilakukan oleh aktor hukum itu tidak memisahkan hukum dari waktu, tempat, situasi, dan struktur masyarakat di mana hukum itu berlaku.
Indikator bahwa konteks sosial dimaksud dapat dijadikan dalih aparat penegak hukum untuk bertindak di luar teks adalah kebiasaan itu telah diterima secara luas oleh masyarakat, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, dan telah berulang kali dilakukan secara konsisten dalam praktik kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pilar ketiga adalah tindakan afirmatif.
Dalam praktik, seringkali aparat penegak hukum tahu apa yang adil, tetapi ia ragu untuk menunjukkan keberpihakan karena takut menyimpang dari teks.
Hukum Adaptif memberi ruang afirmasi untuk menghilangkan keraguan itu.
Bahwa dalam kondisi tertentu aparat penegak hukum harus mengambil keputusan yang mampu menyelesaikan masalah, menguatkan korban, dan menegakkan keadilan secara substantif meskipun “menyimpang” dari teks hukum.
Tindakan afirmasi bukan pelanggaran. Tindakan afirmatif adalah keberanian untuk mengambil tanggung jawab secara etis.
Indikator utama tindakan afirmatif yang menjadi pembenaran bagi aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan adalah tindakan itu untuk mengatasi ketimpangan historis, kerentanan sosial, dan pemenuhan keadilan bagi kelompok yang selama ini terpinggirkan.
Penguatan Teoritik
Secara teoritik tiga pilar dalam hukum adaptif sejalan dengan beberapa pemikiran para tokoh hukum dan sosial.
Gustav Radbruch misalnya, tokoh hukum yang berkali-kali mengatakan, hukum harus tunduk pada keadilan.
Atau juga perspektif hermeneutik hukum ala Gadamer yang menekankan pentingnya seseorang itu memiliki pemahaman historis dan sosial dalam menafsirkan teks.
Hukum adaptif bahkan sejalan dengan prinsip maslahah (kebaikan umum) dalam kajian Islam.
Prinsip yang telah lama menjadi basis argumentasi bahwa hukum harus menyesuaikan kondisi zaman.
Penutup
Semua yang telah diuraikan di atas menunjukkan bukti bahwa hukum adaptif itu bukan utopia. Hukum adaptif bukan sekedar jargon akademik.
Hukum adaptif adalah upaya konkret untuk menghadirkan hukum yang lebih hidup, mampu merespons perubahan zaman, dan dipergunakan semata-mata untuk berpihak pada keadilan.
Masyarakat hari ini tidak menuntut hukum yang ribet nan birokratis.
Yang dikaji dari hotel ke hotel, dari rapat ke rapat, menghasilkan ribuan pasal dan jutaan teks.
Masyarakat hari ini butuh solusi yang tepat dan cepat.
Masyarakat hari ini butuh hukum yang berani berpihak pada yang benar, pada yang lemah, dan membumi atau tunduk pada kenyataan sosial yang ada.
Hukum Adaptif adalah jalan untuk mewujudkan itu. Memang ia bukan jalan satu-satunya, tetapi ia adalah jalan yang layak dicoba. (*)
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.