Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Jika RA Kartini Hidup Saat Ini

Seandainya RA Kartini hidup saat ini, apakah beliau bangga bahkan terharu dengan kegigihan wanita zaman now?

|
Editor: Suut Amdani
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
HARI KARTINI - Penumpang perempuan melewati gate khusus di Halte TransJakarta Bundaran HI, Jakarta, Senin (21/4/2025). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggratiskan penumpang perempuan yang menggunakan layanan TransJakarta, MRT, dan LRT dalam rangka memperingati Hari Kartini. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Oleh: Xavier Quentin Pranata, kolumnis.

SAAT membuka media daring arus utama, saya tidak menemukan berita tentang wanita yang menarik untuk saya baca. 

Namun, saat beralih ke berita yang lagi hangat, nama Nathalie Holscher, Paula Verhoeven dan Kesha Ratuliu yang muncul, yang pertama tentang saweran, yang kedua kasus perceraian dan yang ketiga tentang sterilisasi usai melahirkan.

Bukan berita yang saya harapkan, yaitu  berita tentang wanita tangguh Indonesia di berbagai lini kehidupan.

Saya sebenarnya mencari tokoh-tokoh wanita inspiratif yang bisa jadi obor bagi bangsanya.

Bukannya tanggal 21 April ini Hari Kartini?

Masa tidak ada wanita yang punya kaliber besar untuk ditokohkan?

Saya lebih suka lagi jika ada wanita  yang karena dimarginalkan oleh berbagai sikon kehidupan—diceraikan, ditinggal begitu saja dan ditinggal menikah lagi sama suami atau ditinggal selamanya oleh belahan jiwanya—justru survive bahkan membumbung tinggi menantang elang.

Saya pernah mewawancari seorang sopir bus wanita yang melakukan tugas beratnya untuk membesarkan anak-anaknya.

lihat fotoXavier Quentin Pranata, penulis buku dan kolumnis.
Xavier Quentin Pranata, penulis buku dan kolumnis.

Sebagai single mother, dia menjalani hidupnya dengan ceria meski lelah, tangguh tanpa mengeluh meskipun ada banyak alasan untuk mengaduh.

Saya percaya masih banyak wanita di luar sana—yang karena tidak terjangkau berita—punya mental baja yang layak diacungi jempol.

Seandainya RA Kartini hidup saat ini, apakah beliau bangga bahkan terharu dengan kegigihan wanita zaman now?

Atau sebaliknya menangis bersama Ibu Pertiwi karena berbagai hal negatif yang dilakukan kaumnya?

Bagi predator berita berita terkini, saya haus dengan cerita inspiratif tentang wanita tangguh yang tidak suka mengeluh, apalagi bikin gaduh karena harga dirinya tersentuh.

Saya bangga dengan para wanita yang meskipun ada 1001 alasan untuk menyerah, namun terus saja berjuang karena hidup memang layak untuk diperjuangkan.

Saat diundang bicara dengan tema wanita, saya berkata, “Saya bangga dengan kaum wanita karena pertama, nenek saya wanita. Kedua, ibu saya wanita. Ketiga, istri saya pun wanita.”

Humor yang sengaja saya lontarkan di pembukaan seminar itu bukan sekadar ingin membuat suasana cair dan pecah, melainkan peserta seminar sungguh-sungguh termotivasi agar menjadi pejuang di berbagai bidang.

Bukan prestise yang dibangun lewat medsos dan apa kata orang, apalagi lewat survey yang terus mengunggulkan orang tertentu meskipun fakta di lapangan berbanding terbalik.

Ada tiga ucapan bijak RA Kartini yang masih relevan dan relate pada hari ini yang bisa kita gaungkan kembali. 

  • “Jangan biarkan kegelapan kembali datang, jangan biarkan kaum wanita kembali diperlakukan semena-mena.”

Mengapa wanita diperlakukan semena-mena?

Bukan karena pria takut disaingi, apalagi dikalahkan, namun ada saja wanita yang “playing victim”.

Jika wanita terus memainkan ‘peran korban’ bisa jadi itulah yang akan terjadi. You are what you think!

  • “Jangan mengeluhkan hal-hal buruk yang datang dalam hidupmu. Tuhan tak pernah memberikannya, kamulah yang membiarkannya datang.”

Saat mengikuti pelatihan agar bisa naik satu level lagi, pembicara berkata, “Yang penting bukan aksi yang menimpa Anda, melainkan respon yang Anda berikan.”

Ucapan itu terus mengiang jika saya mendapatkan serangan berupa sindirian, kritikan maupun teguran.

  • “Terkadang kesulitan harus kamu rasakan terlebih dahulu sebelum kebahagiaan yang sempurna datang kepadamu.”

Saya percaya proses belajar itu seringkali menyakitkan.

Dulu saat pertama kali mencoba menulis cerpen, penolakan demi penolakan yang datang dari penerbit, tidak membuat saya berhenti mengetik dan mengedit.

Salah satu masukan paling mengena di hati saya datang dari seorang redaktur senior media massa di Jakarta.

Sarannya begitu sederhana dan hanya terdiri dari lima kata: “Tolong baca karya orang lain.”

Saya tahu redaktur itu bukan meminta saya untuk sekadar membaca tulisan orang lain—karena sejak kecil saya sudah gila membaca—namun membaca dengan kaca mata analasis yang tajam dan mengevaluasi tulisan saya sendiri.

Saat saya lakukan, saya bisa menciptakan karya baru yang menurut saya lebih baik dari sebelumnya.

Naskah saya dimuat.

Bagaimana dengan Anda?

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved