Tribunners / Citizen Journalism
Hari Pendidikan Nasional
Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2023, Apakah Tujuan Ki Hajar Dewantara Sudah Tercapai?
Bagi masyarakat yang bergelut dalam dunia pendidikan setiap tanggal 2 Mei bak alarm akan memunculkan notifikasi “Peringatan Hari Pendidikan Nasional”.
Oleh Tabah Heri Setiawan
Pemerhati Pendidikan, Dosen Universitas Pamulang
TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG SELATAN - Bagi masyarakat yang bergelut dalam dunia pendidikan setiap tanggal 2 Mei bak alarm akan memunculkan notifikasi “Peringatan Hari Pendidikan Nasional”.
Hingar-bingarnya umumnya diperingati dalam bentuk upacara pada instansi pemerintahan yang menaungi pendidikan, diskusi publik pada tataran pengamat pendidikan, diskursus maupun kuliah umum pada pendidikan tinggi, lomba-lomba pada sekolah baik dasar maupun menengah.
Baca juga: 25 Link Twibbon Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2023, Simak Cara Buat dan Bagikan ke Medsos
Tak pelak berbagai media sosial dari instansi pendidikan akan menampilkan poster peringatan Hari Pendidikan Nasional lengkap dengan wajah sosok Bapak Pendidikan Nasional (Ki Hajar Dewantoro) plus berbagai aksesoris tambahan yang identik dengan pendidikan semisal buku, pena, dan toga.
Dibawah poster ditambahkan caption untuk memperluas pesan yang ada pada poster disertai dengan tambahan hashtag semisal #hardiknas #hardiknas2023 #hardiknas2mei2023.
Tidak ada yang salah dengan ekspresi yang tersebut di atas, mengingat pendidikan adalah pondasi bangsa yang eksistensinya akan menunjukkan seberapa berkembang peradaban dan kemajuan suatu bangsa.
Kini layak jika tiba saatnya kita merenung setelah 77 tahun negara ini berdiri seberapa jauh pendidikan nasional kita melangkah, apakah sudah jauh melangkah ke depan atau bahkan berlari meninggalkan negara tetangga yang dulu sama-sama berjuang memerdekakan diri dari belenggu kolonial ataukah masih jalan di tempat dan tertinggal dibelakang?
Baca juga: Kumpulan Ucapan Hari Pendidikan Nasional 2023, Berikut Link Download Logo Hardiknas
Setidaknya untuk melihat ketercapaian tersebut dapat menggunakan dua parameter.
Parameter yang pertama dengan merujuk kembali kepada Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan kedua membandingkan dengan negara lainnya.
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 jelas tertulis bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pertanyaan besarnya adalah apakah tujuan pendidikan nasional sudah tercapai?

Bagaimana tujuan pendidikan nasional akan tercapai jika indikator ketercapaian, sasaran, strategi, fokus kegiatan, dan implementasinya tidak pernah tertuang dalam cetak biru pendidikan nasional.
Sehingga tidak ada roadmap yang menuntun pemangku kepentingan serta masyarakat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang ada hanya turunan berupa undang-undang, peraturan menteri, dan peraturan daerah yang sebatas pada tataran teknis di lapangan.
Tidak ada target serta evaluasi dari setiap perangkat pendidikan yang dilanjutkan dengan rencana tindak lanjut.
Tak heran sejak diluncurkan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional pada 8 Juli 2003 sampai saat ini yang akan genap 20 tahun, pendidikan nasional sebatas “asal jalan” ibarat bus yang melaju tanpa rute tanpa target setoran.
Sehingga fungsi dan tujuan pendidikan nasional tidak pernah tercapai.
Baca juga: Hari Pendidikan Nasional 2023: Tema, Logo dan Latar Belakang Ditetapkannya Hardiknas
Ambil contoh bagaimana dunia maya dipenuhi dengan hoaks, bahkan menurut survei yang dilakukan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) hasil survei menunjukkan masyarakat Indonesia semakin banyak yang percaya hoaks.
Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan nasional bahwa yang menuntut masyarakat sebagai produk pendidikan melekat sifat “akhlak mulia”.
Harus diakui Sistem Pendidikan Nasional kita sebatas manis di bibir tetapi pahit di lidah.
Diatas kertas tertulis indah melalui undang-undang sisdiknas, namun dalam implementasinya belum mencerminkan kandungan isi undang-undang, bahkan kerap terjadi bertentangan dengan isi undang-undang.
Maka cetak biru kerangka pendidikan nasional sudah menjadi kebutuhan dan tuntutan zaman.
Sudah lama kita menanti lahirnya cetak biru sebagai peta jalan arah pendidikan nasional.

Sehingga persoalan pendidikan tidak berlarut-larut dan tidak menjadi diskursus abadi sepanjang kehidupan kita.
Bagaimana hasil pendidikan nasional jika dibandingkan dengan negara lain?
Banyak lembaga yang melakukan survei lapangan umumnya dengan kriteria yang parsial. Misal OECD (Organization for Economic CO-operation and Development) melalui PISA (Programme for International Student Assessment) lebih menitikberatkan aspek kognitif dimana kriteria yang digunakan meliputi kemampuan membaca, matematika, dan kinerja sains.

Program ini terakhir dilaksanakan pada tahun 2018 dan dipublikasikan pada tahun 2019 yang diikuti sebanyak 79 negara dengan sasaran siswa usia 15 tahun.
Hasilnya cukup mencengangkan dengan mendudukan Indonesia pada jajaran papan bawah klasmen.
Untuk kategori kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 6 dari bawah alias peringkat 74, untuk kategori matematika berada di peringkat 7 dari bawah (73), dan untuk kategori kinerja sains Indonesia berada di peringkat 9 dari bawah (71).
Baca juga: Hari Pendidikan Nasional 2023: Tema, Logo dan Latar Belakang Ditetapkannya Hardiknas
Bukan kabar baik tentunya, di tengah upaya pemerintah mendongkrak pendidikan nasional.
Dalam laporannya OECD menyarankan agar pemerintah Indonesia melalui kementrian terkait untuk membenahi guru terlebih dahulu. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kualitas guru di Indonesia masih rendah.
Hal ini diakui sendiri oleh Kemendikbudristek dimana rata-rata Skor Kompetensi Guru sebesar 50,64 Poin. Tentu angka yang bikin pemerintah gigit jari.
Padahal dalam Sustainable Development Goals (SDG) 2015-2030 yang dideklarasikan oleh PBB salah satu sasaran yang ingin digapai adalah proses pendidikan yang didukung oleh guru-guru yang memiliki kualifikasi, terlatih dan profesional, memiliki motivasi yang tinggi, serta didukung penuh.

Sehingga perlu kerja ektra keras lagi dari pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru, karena ini menjadi sumber penyakit yang harus segera diobati.
Belum lagi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mencatat Indonesia kekurangan guru mencapai 1,3 juta orang. Jumlah fantastis yang mustahil terpenuhi dalam waktu dekat.
Memang tidak mudah menyelesaikan persoalan pendidikan nasional yang telah berlarut-larut, ibarat mengurai benang yang kusut dalam kegelapan malam.
Seolah kehabisan akal untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional kita.
Baca juga: Deretan Tokoh yang Pernah Jabat Menteri Pendidikan, Ada Ki Hajar Dewantara hingga Anies Baswedan
Sering kali kebijakan yang lahir sebatas tambal sulam, menutup celah yang robek tetapi muncul robekan lainnya. Pergantian rezim juga belum bisa membawa perubahan yang berarti.
Silih bergantinya menteri pendidikan hanya terkesan mengubah kurikulum dan istilah semata tanpa menyentuh hal yang fundamental dan esensial.
Dalam kondisi seperti ini perlu kesadaran kolektif pentingnya mendesain ulang sistem pendidikan nasional kita.
Ibarat membangun rumah kita desain ulang arsitekturnya, rancang maketnya, hitung RABnya, bangun pondasi yang kuat, letakan tiang tang kokoh, dan pilih atap yang tidak mudah rapuh dan bocor.
Dengan seperti itu sistem pendidikan nasional akan menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi semua ekosistem pendidikan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.