Tribunners / Citizen Journalism
Selamat Datang Era Masyarakat 5.0
Inti dari masyarakat 5.0 adalah mengembalikan hakikat manusia adalah pusat, teknologi adalah perkakas.
Penulis: A.M. Lilik Agung
SAPI gemuk lagi sehat itu merumput pada peternakan di pinggiran Kota San Fransisco Amerika.
Pada tempat lain, perusahaan rintisan bernama JUST mengambil sampel jaringan sel dari sapi tersebut dan mengisolasi sel bersangkutan pada wadah yang dapat membuat sel bertumbuh.
Sel memerlukan oksigen, gula, dan protein agar bertumbuh. Semua tersedia dalam wadah tersebut. Dengan kata lain, wadah menjadikan sel seperti berada dalam induknya.
JUST membuat wadah dalam sebuah laboratorium.
Wadah yang dijadikan sel untuk tumbuh “alami” dikerjakan oleh sistem robotik pintar dan kecerdasan buatan (AI) berbasis pada database raksasa dari semua tanaman.
Dalam waktu tiga hingga empat minggu, sel berkembang dan menjadi lembaran daging steak siap santap.
Daging berbasis robotik pintar dan AI ini disebut sebagai cultured meat.
Kalangan peternak mayoritas menyebut bukan daging. Namun bagi konsumen tidak mempersoalkan ini daging atau bukan.
Di Amerika sudah berkembang gaya hidup baru menyantap burger isinya cultured meat. Di Negeri Jiran Singapura bertumbuh kedai makan yang menyajikan cultured meat dalam aneka masakan.
PILAR 4.0
Cultured meat merupakan salah satu hasil dari perkembangan teknologi bernama 4.0.
Dalam proses pembuatan cultured meat ini tiga pilar 4.0 beroperasi sekaligus, yaitu biologi (sel, dna), robotik, dan AI.
Dalam konsep 4.0, AI merupakan bagian dari digital. Pilar digital selain berwujud pada AI juga muncul dalam rupa komputasi awan, mahadata dan internet untuk segala.
Angan-angan tentang AI muncul awal mula pada tahun 1818 ketika Mary Shelley menulis novel, Frankenstein, or the Modern Promotheus.
Keliaran imajinasi Mary Shelly ditumpahkan dalam tokoh novel, Dr Victor Frankenstein, peneliti lintas ilmu yang ingin menciptakan makhluk baru.
Makhluk yang dalam novel tiada memiliki nama dan hanya ditulis “_ _” berasal dari potongan-potongan orang mati dan ingin dihidupkan kembali melalui proses AI pada zamannya, listrik dari petir.
Benar bahwa makhluk itu akhirnya hidup. Hanya bentuknya compang-camping, tak beraturan dengan satu hal yang membedakan dari manusia; hampa hati nurani.
Si makhluk hasil dari kecerdasan buatan memiliki kecerdasan di atas manusia normal sehingga mampu membaca cepat aneka buku dan berbicara bermacam bahasa.
Hanya pada satu titik si makhluk menemukan fakta, bahwa ia tercipta dari riwayat panjang penuh onak. Dari sini muncul tragedi.
Orang-orang dekat Dr Victor Frankenstein menjadi sasaran dendam kemarahan makhluk itu.
Si makhluk menjadi pembunuh sangat kejam.
Menghadapi tragedi dan kekerasan ini, Frankenstein mencari si makhluk dan hendak membunuhnya.
Dia cari pada empat penjuru mata angin. Pun sampai ke ujung kutub utara, tiada ketemu. Malah di kutub utara ini Frankenstein menemui ajalnya.
Ujung cerita, pada kapal terapung di lautan es yang berisi jenasah Frankenstein, muncul si makhluk.
Ia menangisi kematian penciptanya. Ada duka dan kesedihan.
Sekaligus ratapan dan dendam karena ia diciptakan. Mengucapkan selamat tinggal kepada Frankenstein, si makhluk terjun ke dalam gulungan ombak. Lenyap, hilang.
ERA 5.0
Hiruk pikuk akibat dari 4.0 menimbulkan peluang, harapan, sekaligus ancaman dan ketakutan bagi manusia.
Kisah Frankenstein dengan makhluk ciptaannya dua ratus tahun lalu, seakan-akan hadir secara nyata pada era 4.0.
Jika Frankenstein hanya menciptakan satu makhluk dan itu sudah menggemparkan jagat, maka 4.0 memproduksi massal aneka makhluk dengan berbagai fungsi dan kepentingan.
Jagat bisa gonjang-ganjing manakala produk 4.0 menjadi liar dan tidak bisa dikontrol manusia.
Muncul pandemi. Manusia berhenti bergerak. Produk 4.0 yang mengganti berbagai peran manusia. Ia bergerak, memenuhi kebutuhan manusia.
Mulai dari pangan, pendidikan, pekerjaan, hingga hiburan.
Karena pandemi, produk-produk 4.0 menjadi sahabat manusia. Kegagapan menggunakan berbagai perangkat digital, menjadi lancar karena keterpaksaan untuk menyiasati pandemi.
Perdebatan tiada ujung bahwa 4.0 akan meminggirkan dan mengancam manusia, berubah. Eksplorasi dan eksploitasi pilar-pilar 4.0 mendapat lampu hijau.
Bahwa pada akhirnya 4.0 adalah perkakas. Roh dan pengendali tetap pada manusia.
Dengan pandemi mempertegas bahwa manusia itu makhluk sosial.
Keinginan untuk meriung dengan manusia lain tidak bisa dibendung walaupun dengan risiko terpapar covid.
Melalui pandemi juga mempertegas manusia itu makhluk berbagi.
Memang ada oknum yang memanfaatkan pandemi untuk kepentingan pribadi. Namun itu hanya noktah hitam pada lautan warna-warni persaudaraan antarmanusia lintas etnis, agama, kelompok.
Menghadapi masifnya 4.0 yang ditakutkan mendewakan teknologi dan meminggirkan manusia, pada warsa 2019 pemerintah Jepang berkampanye tentang society 5.0 (Masyarakat 5.0).
Inti dari masyarakat 5.0 adalah mengembalikan hakikat manusia adalah pusat, teknologi adalah perkakas.
Tiga pilar 4.0 adalah bagian dari manusia. Digital bukan sekadar untuk menghimpun mahadata dan memperbesar komputasi awan, melainkan untuk menjalani kehidupan.
Teknologi 4.0 bukan untuk menjauhkan manusia, namun menghubungkan manusia.
Pandemi akhirnya mempercepat proses penerapan 4.0 pada kutub lain, sekaligus memperjelas keberadaan masyarakat 5.0 pada kutub satunya.
Hibrida menjadi jalan tengah. Hidup dalam dunia daring sekaligus mempererat kehidupan luring.
Masyarakat 5.0 merupakan praktik kehidupan yang berpusat pada manusia dengan basis teknologi. Selamat datang era 5.0.
A.M. Lilik Agung
Penulis buku Kompetensi SDM di Era 4.0, terbitan Elex Media Komputindo
Mitra Pengelola GALERI HC, lembaga pengembangan SDM
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.