Tribunners / Citizen Journalism
Berkat di Balik Kritikan Duo Elite Demokrat dan PPKM Darurat
SEJAK BEM UI mengunggah serangkaian tweet yang populer disebut "The King Of Lip Service", masalah kritikan terhadap Jokowi terus bergulir.
Sebaliknya, jika dia menggunakan kelemahannya agar dikasihani, cepat atau lambat akan ketahuan sehingga rasa simpati bisa berubah menjadi antipati. Apalagi kalau motivasinya dendam masa lalu.
Kedua, self-elevated. Ada orang-orang yang playing God. Dia merasa bahkan memposisikan dirinya sebagai 'Tuhan' sehingga suaranya atau tindakannya dianggap—lebih tepatnya dia sendiri yang menganggap—mewakili Tuhan. Bisa jadi dia merasa sebagai jubir Tuhan.
Siapa yang mengangkatnya? Dirinya sendiri! Orang semacam ini gampang sekali menyalahkan orang lain dan kebijakan yang dibuatnya serta menganggapnya menyimpang. Tidak jarang mereka melontarkan kata ‘sesat’ sehingga perlu 'dilaknat'.
Three selves in us
Di dalam diri kita ada tiga self yang perlu kita sadari. Pertama, selfish yang diterjemahkan 'lacking consideration of others'. Sederhananya, yang penting aku. Tidak peduli orang lain. Asal aku senang dan mendapatkan manfaat, apa perlunya memikirkan orang lain. Sifat ini dibawa sejak kita dilahirkan sampai usia anak-anak sehingga seringkali disebut child self. Karena merasa tidak berdaya, maka naluri untuk melindungi diri sendiri dan apa yang kita punyai membuat kita selfish.
Ingat bagaimana anak-anak kita berebut mainan meskipun sebelumnya tidak mereka pakai? Namun begitu ada anak lain yang mau memainkannya, dia langsung merebut dan mempertahankannya mati-matian, seringkali dengan minta tolong ke orang lain. Saat menghadapi bahaya, child self ini memiliki dua opsi: fight or flight.
Orang-orang yang menjadi korban kebijakan Jokowi—kehilangan posisi yang berakibat langsung terhadap income—ada yang mengadopsi sikap ini dan meradang. Jika tidak terkendali, timbul defense mechanism dalam berbagai bentuknya: menyerang secara frontal sampai menyebarkan hoaks yang pada intinya memburukkan nama Jokowi atau lari sebentar untuk mengumpulkan kekuatan dan menyerang balik saat lawannya di posisi genting atau lemah.
Saat ini, pemerintah berjibaku habis-habisan untuk mengatasi pandemi. Fokus ke arah penyakit global inilah yang membuat pemerintah lemah dan rentan diserang.
Kedua, self-righteousness, yaitu orang yang merasa dirinya benar sendiri, sehingga bisa juga disebut sanctimoniousness yang gampangnya disebut kesalahen yang munafik. Orang semacam ini selalu memandang orang lain kurang/tidak benar dibandingkan dirinya sendiri tanpa pernah bercermin.
Inilah perkembangan dari child self yang terancam sehingga memunculkan our own defender. Pengaruh latar belakang pengasuhan dan pendidikan ini membuat pertahanannya bisa baik bisa ngawur.
Karena merasa benar sendiri, maka dia pun melakukan apa yang benar menurut pendapatnya sendiri sedangkan pendapat orang lain pasti salah. Kalau dipelihara, hal ini bisa menjadikannya punya prinsip ‘pokoknya’. Pokoknya pendapatku begini, pendapatmu terserah.
Ketiga, self-awareness yang akhirnya menuju self-evaluation. Kesadaran bahwa dirinya sendiri tidak sempurna membawanya kepada evaluasi diri. Di tingkat inilah kematangan jiwa terjadi. Kita bisa menyebutnya adult self. Orang dewasa yang sungguh-sungguh matang jiwanya, tidak reaktif, melainkan antisipatif dan proaktif. Kalaupun ada masalah yang mengancam, dia mempertimbangkan banyak aspek sebelum memilih untuk bertahan, menyerang atau berdamai.
Jeda Menulis
Bagaimana sikap kita terhadap peperangan di dunia maya—yang kalau dibiarkan—bisa menjadi adu fisik sampai perang saudara beneran? Kita perlu menarik diri dari hiruk pikuk pro kontra ini agar bisa melakukan me time. Di saat teduh pribadi inilah air kolam di bejana jiwa kita menjadi tenang sehingga permukaannya bisa kita jadikan cermin.
Saat menyaksikan tayangan YouTube 'Jeda Nulis' dari Habib Husein Ja'far Al Hadar bersama Pendeta Yerry Pattinasarany, saya merasakan kesejukan air kolam yang teduh. Dalam salah satu episodenya yang berjudul 'Kenapa & Bagaimana Kita Bersama Meski Tak Sama?" saya merasakan dua tokoh agama ini benar-benar menjiwai dialog persaudaraan yang kental. Mereka menyebutnya "Inilah Cerita Kebersamaan Kita".
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.