Tribunners / Citizen Journalism
Virus Corona
Covid-19 dan Kutukan Sisifus
Usai Lebaran, grafik positif Covid-19 kembali menanjak. Sejak Senin (21/6/2021), angka positif Corona telah menembus 2 juta.
Usai Lebaran, grafik positif Covid-19 kembali menanjak. Sejak Senin (21/6/2021), angka positif Corona telah menembus 2 juta.
Jumlah orang yang meninggal akibat virus Corona di Indonesia bertambah 371 orang menjadi 54.662 orang. Jumlah ini setara 2,7% dari kasus positif Corona.
Banyak orang berjatuhan. Bagi yang komorbid, pagi sakit, sore mati. Sore sakit, pagi mati. Rumah sakit terpaksa tidak bisa menerima pasien karena kapasitasnya sudah penuh. Pasien terpaksa isolasi mandiri di rumah.
Ada pula yang meninggal di perjalanan. Situasinya mirip dengan apa yang digambarkan Albert Camus dalam novelnya, "La Peste" atau "Sampar" (1947), meski tak seseram itu.
Corona juga menyasar anak-anak. Dari total kasus positif Covid-19 nasional saat ini, 12,5% dikontribusikan anak usia 0 hingga 18 tahun. Ini menunjukkan satu dari delapan kasus positif Covid-19 di Indonesia merupakan anak.
Absurd
Kematian itu absurd. Dengan usia sama, kondisi badan sama, gejala sama, mereka yang terjangkit Covid-19 ada yang mati dan ada yang sembuh. Padahal obatnya sama.
Corona juga absurd. Seseorang sudah divaksin, tetapi tetap saja terjangkit. Makin kuat imunitas, makin kuat virus yang menyerang.
Bahkan kemudian muncul virus varian baru yang lebih ganas, yakni Delta setelah Alpha dan Beta.
Mengapa Corona di Indonesia terus menggila, sehingga upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat seakan sia-sia laiknya pekerjaan Sisifus?
Sedikitnya ada tiga faktor penyebab. Pertama, munculnya Covid-19 varian baru, yakni Delta.
Karena munculnya varian baru inilah maka meskipun seseorang sudah divaksin, tapi tetap bisa terjangkit.
Kedua, kendornya masyarakat menerapkan protokol kesehatan, yakni "5M" (manjaga jarak, memakai masker, mancuci tangan, membatasi mobilitas dan menghindari kerumunan).
Tapi ini juga dilematis karena masyarakat memang sudah lelah dan jenuh mengurung diri di rumah lebih dari setahun.
Jadi, ketika ada sedikit celah, ibarat bendungan dibuka pintunya dan menjadi bah. Sebagian bahkan tidak takut mati menghadapi Corona. Mereka lebih takut anak istrinya kelaparan karena tidak bekerja. Inilah absurditas lainnya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.