Tribunners / Citizen Journalism
Kasus Bunuh Diri Polisi Bukan Hanya Persoalan Individu tapi Juga Institusi Polri
Anggota polisi menembak anggota keluarganya. Lalu dia tembak pula dirinya sendiri. Benarkah persoalan keluarga semata?
Oleh: Reza Indragiri Amriel/Pakar Psikologi Forensik
TRIBUNNERS - Anggota polisi menembak anggota keluarganya. Lalu dia tembak pula dirinya sendiri.
Kejadian di Depok Jawa Barat itu sepintas tampaknya terkait masalah rumah tangga. Karena yang ditembak adalah anggota keluarga.
Tapi mungkinkah sumber masalahnya ada di luar keluarga? Jadi, membunuh lalu bunuh diri merupakan cara untuk 'menyelamatkan' diri dan 'melindungi' keluarga dari sumber masalah tersebut.
Masalah Institusi
Sejak pekan lalu saya berkomunikasi dengan rekan di SDM Polri. Saya tanyakan ihwal jumlah personel yang wafat dan penyebabnya. Sayangnya, kali ini data itu tidak saya peroleh.
Baca juga: Kasus Polisi Bunuh Diri Seusai Tembak Anak dan Istri: Atasan Ungkap Keseharian sang Aiptu di Kantor
Boleh jadi Polri menganggap data semacam itu seperti aib. Jadi harus ditutup.
Padahal, jika dibuka, akan tersedia gambaran tentang kesehatan mental personel.
Apalagi, silakan di-Google, boleh jadi sayalah yang paling sering angkat suara tentang sisi-sisi manusiawi personel Polri dan bagaimana negara bisa lebih kasih atensi.
Yang jelas, menjadi polisi sama artinya dengan menekuni pekerjaan yang paling bikin stres.
Beban kerja menaik, alokasi waktu konstan, pasokan stamina menurun. Tambahan lagi tarik-menarik politik, baik internal maupun eksternal.
Baca juga: Sikap Aiptu Slamet sebelum Tembak Anak dan Istri hingga Bunuh Diri, Rekan Polisi: Saya Pikir Capek
Risiko maut pun tinggi. Per tahun, personel berhadapan dengan insiden maut hampir 200 kali. Itu dalam situasi negara relatif normal.
Dengan itu semua, hitung-hitungan di atas kertas, prevalensi masalah kejiwaan di kalangan personel sangat tinggi.
Ambil ilustrasi, di kalangan sipil, tingkat bunuh diri adalah 13 dari 100 ribu orang. Di polisi, 17 dari 100 ribu personel.
Gilanya, kondisi payah harus terus-menerus diingkari dengan "delapan enam", "siap", "perintah, nDan". Ini sesungguhnya sangat tidak manusiawi. Secara populer saya mengistilahkannya sebagai John Wayne Syndrome.
Namun, saya menolak jika masalah personel yang sakit, cedera, apalagi tewas disorot sebagai persoalan individu per individu semata. Institusi kepolisian tidak boleh berlepas tangan.
Alhasil, rekomendasi saya selama ini:
1) Revisi UU Kepolisian agar punya pasal-pasal yang lebih berempati pada personel, seperti halnya UU Guru dan Dosen.
2) Alokasi anggaran diperbesar untuk keperluan pemeliharaan kesehatan mental.
3) Kerahkan SDM dan Lemdik secara lebih maksimal.
4) Jadikan kesehatan sebagai bagian dari etika dan profesionalisme kerja.
Pada sisi sebelah, tak kalah pentingnya, adalah tentang personel yang dipecat.
Bahwa Kapolri mengumumkan jumlah 129 personel dipecat selama 2020, itu bagus. Wujud akuntabilitas.
Tapi jangan lupa; setelah dipecat, para pecatan itu ke mana? Polri bisa lebih bersih, tapi getahnya pindah ke masyarakat.
Jika tidak terpantau, sangat mungkin kondisi para pecatan justru semakin parah sebagai orang bermasalah. Juga sangat mungkin mereka masuk kian dalam ke dunia hitam.
Akibatnya, keamanan dan rasa aman khalayak luas terganggu, dan polisi juga yang tambah repot.
Pemecatan, pada satu sisi, bisa dipandang sebagai bentuk penataan SDM. Tapi pada sisi lain, juga bisa ditafsirkan sebagai manifestasi kegagalan pengelolaan SDM.
Kalau dinominalkan, 129 pecatan itu setara dengan berapa ratus juta rupiah? Kompensasi dari Polri akan seperti apa?
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.