Tribunners / Citizen Journalism
Utang Itu Cara Mudah Negara Atasi Problem Keuangan, Tapi Persulit Perekonomian Berikutnya
Akumulasi beban bunga utang negara selama kurun waktu lima tahun Rp 1.089 triliun, dan 2020 dianggarkan Rp 295 triliun.
OLEH : Dr R AGUS TRIHATMOKO, Dosen Fakultas Ekonomi dan Pascasarjana Universitas Surakarta
BERUTANG adalah cara cepat atau mudah dalam mengatasi masalah keuangan negara dalam berbagai situasi permalahan ekonominya.
Pola pikir atau kebiasaan pemerintahan dari dahulu memang hanya pragmatis, tetapi kurang taktis.
Ekonomi manajerial keuangan seperti itu semakin berlanjut pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, sehingga defisit RAPBN dibuka dan realisasinya ditutupi pendanaan utang negara.
Mengejutkan, jika menyoroti akumulasi beban bunga utang negara selama kurun waktu lima tahun, yaitu Rp 1.089 triliun, dan 2020 dianggarkan Rp 295 triliun.
Akumulasi beban bunga Rp 1. 400 an triliun ini dapat diperkirakan dari efek utang negara sejak penyelesaian kasus BLBI dan urusan krisis ekonomi tahun 2008, hingga problematika pembangunan masa lima tahun terakhir ini.
Memang kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, utamanya anggaran biaya modal. Meskipun, tidak sedikit dana bersumber utang juga dipergunakan untuk anggaran biaya rutin.
Termasuk bantuan-bantuan kepada masyarakat yang sering kali tidak tepat sasaran dan tidak produktif bagi pertumbuhan ekonomi. Alhasil, dalam lima tahun terakhir (2015-2019) pertumbuhan ekonomi statis rerata pada angka 5 %.
Asumsi capaian tahun 2020 kali ini tidak bisa dijadikan komperasi tren pertumbuhan ekonomi tersebut. Tetapi, pada masa krisis ekonomi terdampak pandemi Covid 19 justru kebiasaan utang negara telah ditempuh pemerintah.
Kebijakan itu akan sangat membebani ekonomi ke depan. Meskipun jatuh tempo untuk utang obligasi “Covid-19” diatur hingga pada periode tahun anggaran tahun 2030 an.
Negara berutang terkadang memang perlu ditempuh. Namun demikian pendanaan utang untuk perekonomian Indonesia seperti halnya “gali lubang tutup lubang”.
Sementara itu, dalam situasi krisis sekarang utang sudah direalisasi, dan akan berlanjut nantinya ditargetkan hingga mencapai Rp 1.400 triliun.
Tim Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mestinya belajar kepada historikal kebijakan utang dan konsekuensi bagi setiap RAPBN.
Kenaikan utang terbukti tidak menaikkan signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena, pemanfaatnya bukan pada kegitaan produktif atau sering disebut salah sasaran.
Saya setuju, jika utang dimaksudkan untuk capital expenditure. Itu pun harus taktis mempertimbangkan keuangan negara, dan lebih penting lagi memperhatikan implikasi atas pengeluaran modal termaksud pada perhitungan dampak ekonomi jangka menengah.
Sebagian untuk hal lain juga boleh, demi layananan atau kesejahteraan umum. Dalam mengatasi kesulitan keuangan APBN tahun 2020 masa krisis berat sekarang, sebelumnya sedikit sudah saya terangkan (Koran Jakarta, 14-08-2020).
Pemerintah sebagai Obligor dapat menunda pembayaran bunga utang. Saya sependapat jika memang kebijakan mem-swap bunga obligasi menjadi 0 %, atau memperkecilnya.
Terlebih, kebijakan tersebut memiliki peluang terhadap eks-dana utang BLBI ke negara yang sudah terlalu lama, tidak jelas ujung pangkal penyelesaiannya.
Pemerintah memiliki kewenangan leluasa untuk mengambil kebijakan tersebut, dengan “UU-nya Covid 19”.
Langkah tersebut, jika mau ditempuh akan memperingan anggaran pendanaan ekonomi krisis, dari pada terus menggejot utang negara ke depan.
Berikutnya, Tim PEN harus mengevaluasi secara serius atas semua realisasi dana stimulan dan yang sedang direncanakan.
Program stimulan seharusnya dipisahkan substansinya yaitu antara kepentingan membantu konsumsi masyarakat yang “kesulitan makan”, dengan kepentingan pemberdayaan akselerasi ekonomi.
Secara teknik tidak perlu disebutkan pada kritisme pandangan ini, namun tentang program- program BLT dapat dijadikan bahan evaluasi.
BLT bagi masyarakat miskin adalah kewajiban negara dalam tanggung jawabnya menyelamatkan rakyatnya agar tidak ada yang kelaparan. Termasuk, masalah pembiayaan kesehatan karena pandemi Covid 19, itu sudah tepat sasaran.
Di luar itu, banyak BLT atau bentuk program subsidi yang dinilai tidak tepat sasaran. Secara teoretis program “konsumsi” tersebut memang dapat menstimulus perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Tetapi sesaat saja, karena tidak mengagregasi produksi dalam waktu jangka pendek-menengah ke depan.
Jadi, disayangkan kalau dana stimulan yang tidak efektif demikian itu harus didanai dengan utang negara.
Dalam setiap kejadian krisis ekonomi, urgenitas fiskal dan keuangan adalah tentang likuiditas di berbagai sektor dan pemerintahan.
Artinya, realisasi APBN skala prioritasnya kepada masalah sirkuliasi ekonomi dan uang di pasar. Sedangkan biaya modal yang sifatnya tidak mendesak return ekonominya dapat ditunda terlebih dahulu.
Misalnya, belanja pembangunan infrastruktur umum, tetapi infrakstruktur pertanian yang terkait dengan ketahanan pangan dan energi justru harus diprioritaskan.
Termasuk, belanja untuk pengeluaran infrastruktur atau peralatan kelembagaan pemerintahan diperketat.
Dari pengetatan dana APBN tersebut, sebagian besar dapat dialihkan tatikalnya untuk stimulan atau subsidi industri atau kegiatan ekonomi yang dinilai sekarang telah siap beroperasi.
Misalnya, dari UMKM hingga korporasi besar sedang kesulitian likuiditas. Di sisi lain untuk melakukan pinjaman modal perbankan terbebani keraguan atas risiko beban bunga pinjaman.
Jadi, stimulan dana pemerintah untuk bank-bank BUMN tidak nendhang istilahnya sebagai stimulan pergerakan likuiditas.
Oleh karena, dananya dari utang negara, kemudian diperutangkan kepada perbankan termaksud dan berikutnya kepada pelaku usaha. Kebijakan pemerintah seperti itu ibaratnya nasi sudah menjadi bubur, karena telah banyak dieksekusi.
Kita memaklumi, situasional krisis telah membuat panik bagi semua orang dan pemerintahan negara ataupun dunia usaha.
Hanya saja, pemulihan krisis terdampak pandemi Covid 19 ini akan berlangsung lama, “Walau kita sama sekali tidak berharap musibah ini terus berlanjut”.
Kesempatan evaluasi dan perbaikan bagi Tim PEN adalah untuk kebijakan program Kuartal IV, dan tahun 2021.
Seharusnya, mampu menekan pembengkakan utang negara tanpa harus mengorbankan misi penyelamatan krisis ekonomi, dengan segala cara dan keahlian ekonomi manajerial mereka.
Saya menggunakan tinjauan di atas dengan perspektif ekonomi klasik atau konvesional. Analoginya tentu lebih mudah dipahami dalam waktu singkat dan implementasinya pun tidak perlu terlalu lama menggunakan pertimbangan ekonomi politik.
Meskipun demikian, pada kesempatan ini saya konsisten menyampaikan, sistem ekonomi murakabi merupakan mekanisme meminimalisir secara signifikan beban utang negara, dan korporasi-korporasi.
Pesannya adalah penting diketahui utang negara akan mempersulit perekonomian berikutnya; oleh siapapun pemerintahan Indonesia dipimpin seorang Presiden.
“Semoga bermanfaat, pandemi covid 19 segera berlalu dan ekonomi kembali membaik. Dirgahayu Republik Indonesia Ke-75, Indonesia Raya Merdeka!” (*)
Anda punya tulisan tema apapun yang menarik, kirim ke [email protected]. Panjang tulisan minimal 70 kata.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.