Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Sejarah Nusantara

Nama-nama dan Jenis Penyakit Masa Lampau Menurut Prasasti Jawa Kuno

Humbelen atau pilek adalah penyakit pada masa Jawa Kuno yang termasuk dalam wikara (perubahan). Ada lagi bubuhen/wudunen, buler/katarak dan beleken.

zoom-inlihat foto Nama-nama dan Jenis Penyakit Masa Lampau Menurut Prasasti Jawa Kuno
Koleksi Pribadi Goenawan A Sambodo
Goenawan A Sambodo, epigraf dan peneliti sejarah kuno Jawa, menunjukkan prasasti tamra atau tembaga di sebuah event kesejarahan

OLEH : GOENAWAN A SAMBODO, Epigraf & Ahli Sejarah Kuno

EPIGRAF Universitas Gadjah Mada, Riboet Darmosoetopo dalam “Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU” menjelaskan, pada masa Jawa Kuno penyakit termasuk dalam wikara.

Artinya perubahan, khususnya keadaan tubuh dan mental yang lebih buruk dari biasanya. Berdasarkan data prasasti abad ke-9–10 dan kesusastraan, ada bermacam-macam wikara.

Ada wikara yang disebabkan penyakit, wikara sejak lahir, wikara yang terjadi karena perubahan kejiwaan, dan wikara karena kena kutuk.

Ada istilah humbelen atau sakit pilek adalah penyakit pada masa Jawa Kuno yang termasuk dalam wikara (perubahan).

Ada lagi bubuhen atau wudunen (bisul). Lalu ada buler atau sakit katarak dan sakit mata lainnya yaitu belek. Kemudian ada wudug atau lepra, panastis atau sakit malaria, dan uleren atau sakit karena cacing.

Kejadian wahin =  bersin, yang sekarang ini kalau dilakukan di muka umum seakan akan menjadi “dosa besar” itupun juga sudah tertulis sejak dulu

Bahkan dalam Korawāśrama disebutkan “mawahin pwa saŋ Kālasūnya, ya ta dadi gĕlap ; saŋ Kālasūnya bersin yang menjadi petir.”

Artinya, “Bila semua itu telah disebut di prasasti atau naskah, berarti itu adalah juga gambaran penyakit yang terjadi di masyarakat waktu itu”.

Terdapat 7 wikara yang sangat ditakuti, yaitu kuming (impoten), panten (banci), gringen (sakit-sakitan), wudug (lepra), busung (perut membengkak), janggitan (gila), dan keneng sapa (terkena kutuk).

Wikara yang disebabkan kena kutuk dapat bersifat jasmani maupun rohani. Prasasti Wiharu II (851 Saka) menyebut ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak (matya busunga).

Goenawan A Sambodo memandu anak-anak membaca relief di Candi Borobudur
Goenawan A Sambodo memandu anak-anak membaca relief di Candi Borobudur (Koleksi Pribadi Goenawan A Sambodo)

Prasasti itu juga mencatat penderita ayan (ayana), orang yang disambar petir padahal tak sedang hujan (samberen ing glap tanpa hudan), dan tenggelam di bendungan (klêmakên ring dawuhan).

Baca: Kitab Pararaton, Letusan Gunung Berapi, dan Tanda-tanda Bencana di Masa Kuno

Baca: Jejak Bencana dan Wabah Penyakit Masa Lampau Menurut Prasasti dan Sumber Sejarah Kuno

Penyakit karena kutukan dibahas pula dalam Kitab Rajapatigundala, naskah undang-undang yang ditulis Raja Bhatati (nama lain Kertanagara) dan disusun kembali pada zaman Majapahit.

Pada bagian sapatha disebut nama-nama penyakit yang akan menimpa orang jika tak mematuhi hukum.

“…, untuk orang yang tidak mematuhi, dia akan mendapat kesengsaraan,… hidup mereka akan tanpa mendapat kesehatan, mereka akan sakit kusta, tidak dapat melihat dengan sempurna, sakit gila, cacat mental, buta, bungkuk. Maka semua orang yang tidak mematuhi akan dikutuk oleh Raja Patigundala yang suci,”.

Kitab Korawacrama menuliskan Bhatara Guru terkejut ketika melihat banyaknya penyakit yang diderita manusia.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved