Tribunners / Citizen Journalism
New Normal, Budaya Malu, dan Berita Nyesek Slavoj Žižek
Janji Jokowi untuk mengadakan test masif terhadap virus ini sulit ditepati karena biaya yang dikeluarkan sangatlah besar.
Penulis Amerika ini sangat paham apa artinya depresi karena mengalaminya sendiri. Meski begitu, dia bertempur agar tidak hancur dan gugur.
Kelima, acceptance. Inilah langkah terakhir saat kita tidak lagi mampu berpikir.
Saat seorang yang dikejar musuh terdesak ke tembok tebal dan tinggi, tindakan rasional adalah melawan habis-habisan atau menyerah dengan harapan diberi pengampunan.
Bukankah saat ini ungkapan berdamai dengan korona makin sering kita dengar?
Inilah tatanan baru yang terus-menerus didengungkan pemerintah.
Untuk apa? Paling tidak ada dua alasan, yaitu agar kita terbiasa dan akhirnya melakukannya.
Kalau Nggak Bisa Mikir Jangan Nyinyir
Pernah dengar kalimat ini?
Ungkapan itu kalau dipikir-pikir, juga merupakan ketidakmampuan kita untuk ikut dalam barisan pemecah masalah dan justru menambah beban yang di atas.
Siapa yang di atas? Bisa pemerintah sampai Tuhan.
Bukankah ada yang menyalahkan Sang Pencipta dengan ungkapan: Mengapa Tuhan membiarkan virus mematikan ini merajalela?
Di satu sisi, tiba-tiba saja dunia dipenuhi para pakar yang semua merasa paling pintar memberikan pencerahan.
Saat SARS edisi pertama muncul pada 2002 dan dikenal secara luas pada 2003, saya bersama sahabat dokter, berkolaborasi menulis buku saku tentang virus yang mirip dengan Covid-19 ini.
Tentu saja, saya tidak mendudukkan diri saya sebagai orang yang pakar virus.
Tujuan utama saya adalah ikut menyumbangkan pemikiran, walaupun itu hanya setetes embun di samudra bernama Indonesia.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.