Tribunners / Citizen Journalism
22 Tahun Reformasi: Das Sollen, Das Sein?
Soeharto menyatakan mundur dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998. Ini menandai berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya era Reformasi.
Keempat, desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah.
Pemerintah pusat telah melakukan desentralisasi kepada daerah-daerah melalui otonomi daerah, termasuk soal anggaran melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), di samping kepala daerah yang dipilih secara langsung. Papua, Papua Barat dan Aceh bahkan dijadikan daerah otonomi khusus, di samping Jakarta sebagai daerah khusus ibu kota, dan Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Namun, otonomi daerah dan pilkada langsung membawa efek negatif, yakni munculnya raja-raja kecil di daerah, dan aturan yang mereka buat pun bisa tidak sinkron dengan aturan pusat.
Inilah salah satu pemicu korupsi di daerah, dan penghambat investasi.
Mewujudkan kebebasan pers? Begitu BJ Habibie naik menjadi Presiden menggantikan Pak Harto, keran kebebasan pers langsung dibuka dengan lahirnya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pemberedelan pers diharamkan. Departemen Penerangan dibubarkan, diganti dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Maka lahirlah media massa-media massa baru baik cetak, elektronik, maupun online atau daring (dalam jaringan). Ratusan bahkan ribuan media baru bermunculan bak jamur di musim penghujan.
Efek negatifnya, kebebasan pers ada yang menyalahgunakan sehingga kebablasan.
Kini, selain media massa, juga tumbuh subur media sosial di internet seperti Facebook, Instagram, WhatsApp dan sebagainya yang lebih bebas daripada media massa. Lalu lahirlah UU No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Betapa banyak orang yang sudah terjerat UU ITE ini.
Keenam, mewujudkan kehidupan demokrasi? Selain kebebasan pers, negara juga tidak membatasi jumlah parpol. Bila pada era Orba hanya dibatasi dua parpol, yakni Partai Persatuan Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), serta satu Golongan Karya (Golkar), maka pada era Reformasi ini jumlah parpol tidak dibatasi.
Parpol pun bermunculan bak jamur di musim penghujan. Ada puluhan bahkan ratusan parpol yang lahir, tapi tak semua bisa ikut pemilu. UU hanya mengatur parpol-parpol yang berhak ikut pemilu, yakni yang memenuhi parliament threshold atau ambang batas parlemen.
Pemilu pertama di era Reformasi (1999) diikuti oleh 48 parpol, pemilu kedua (2004) diikuti oleh 24 parpol, pemilu ketiga (2009) diikuti oleh 18 parpol, pemilu keempat (2014) diikuti oleh 10 parpol, dan pemilu kelima (2019) diikuti oleh 14 parpol.
Ditambah dengan pilpres dan pilkada, Indonesia mencatat rekor tertinggi sebagai negara yang paling banyak menyelenggarakan pemilu.
Selain kegaduhan politik, efek samping dari banyaknya pemilu adalah konflik horisontal. Keamanan rawan. Akibatnya, tak banyak investor yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Demokrasi yang dicita-citakan gerakan Reformasi pun sering kebablasan.
Pendek kata, das sein selama era Reformasi masih jauh dari das sollen atau yang dicita-citakan para mahasiswa.
Bila dipadatkan, cita-cita gerakan Reformasi adalah terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Keduanya sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Inilah tantangan kita bersama sebagai bangsa.
* Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.