Tribunners / Citizen Journalism
Membaca KH. Imam Jazuli dari Leadership dan Kiprahnya
Sudah lebih dari 1000 pelajar Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk berbagai bidang study. Global Overseas memiliki jaringan luas.
MEMBACA KH. IMAM JAZULI DARI LEADERSHIP DAN KIPRAHNYA
Oleh Dr. (HC) Ubaydillah Anwar*
Tahun ini genap 9 tahun saya bersahabat dengan Kiai Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia ini, yang kiprahnya dalam membidani Pesantren begitu progresif dan inovatif. Santrinya dimulai dari puluhan, ratusan, dan kini sudah di atas 1500 santri, padahal usia Pesantren baru 7 tahun.
Pertama kali kami berkenalan, saat itu Kiai adalah CEO (Chief Executive Officer) sebuah perusahaan konsultan study ke luar negeri, Global Overseas namanya. Sudah lebih dari 1000 pelajar Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk berbagai bidang study. Global Overseas memiliki jaringan luas dengan sejumlah perguruan tinggi di Malaysia, Singapura, Mesir, Australia, dan Inggris.
Kiai juga mengelola kegiatan training SDM untuk para professional, birokrat, dan pelajar dimana saya kerap dilibatkan sebagai narasumber. Di luar kegiatan sebagai CEO, Kiai aktif di RMI (Robithatul Ma’ahid al-Islamiyah) dan PBNU.
Kegiatan Kiai yang ‘nyambung’ dengan saya lagi adalah menggarap buku dan majalah. Selain menerbitkan buku, kami juga telah banyak menggarap buku di kementerian dan di beberapa jaringan PBNU, utamanya tentang Islam, pendidikan, dan pengembangsan SDM. Bahkan untuk buku fiksi yang diterbitkan oleh PT. Global Media, perusahaan dimana Kiai menjadi komisaris utamanya, sudah ada beberapa judul yang dilayar-lebarkan.
Kiai Jazuli termasuk orang yang cepat mengambil keputusan dan mengeksekusinya dengan penuh keberanian. Inilah ciri utama yang terus melekat di hati saya ketika membaca Kiai dari leadership dan kiprahnya.
KEPEMIMPINAN GAYA LANDAK
Satu teori leadership yang kerap mengingatkan saya dengan sosok Kiai adalah gaya kepemimpinan landak (hedgehog leadership) dan gaya kepemimpinan rubah (fox leadership). Teori ini dikembangkan oleh pemikir leadership modern dari pemikir Inggris Isaiah Berlin tahun 1953.
Pemimpin gaya landak adalah pemimpin visioner yang melihat jauh ke depan. Kepemimpinan gaya landak focus pada tiga area utama, yaitu: a) apa yang benar-benar menjadi panggilan hati dan mimpi seorang pemimpin, b) apa yang bisa dilakukan untuk menjadi yang terbaik, dan c) apa modal terbaik yang bisa menjadi penggerak langkah.
Gaya landak berbeda dengan gaya rubah. Rubah lebih banyak focus pada memberi layanan dan solusi sesuai masalah yang muncul. Rubah mengetahui banyak hal, sementara landak hanya tahu satu hal, yaitu visinya. Rubah bervisi pendek, sementara landak bervisi jauh ke depan. Banyak riset SDM yang menyimpulkan bahwa kita lebih bisa berharap ada perubahan revolusioner dari ‘good’ (baik) ke ‘great’ (perubahan besar) kepada sosok pemimpin yang bergaya landak.
Saya merasakan Kiai Jazuli lebih banyak mempraktikkan kepemimpinan gaya landak, yang begitu sangat visioner, penuh gebrakan inovatif, dan jarang kelihatan takut pada masalah. Masalah itu tidak penting, yang penting adalah tujuan dan visi. Untuk menyebut keberaniannya dalam bereksperimen dan berinovasi, saya kerap menjulukinya sebagai “without-the-box-thinker” atau orang yang berpikirnya sudah tak peduli dengan batas-batas kotak.
Memang, salah satu konsekuensi kepemimpinan gaya landak adalah tidak begitu tertarik untuk berunding, bermusyawarah, atau kolaborasi demokratis. Bahkan stabilitas atau kemapanan terkadang tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Gaya landak terus terinspirasi oleh perubahan demi perubahan untuk mencapai visi yang besar.
INOVASI INTERNAL
Di Indonesia atau bahkan di dunia mungkin hanya SMK Bina Insan Mulia sebagai sekolah vokasi yang alumninya malah “dilarang” bekerja. Gilanya lagi, Kiai mendorong lulusannya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri dengan jurusan yang macam-macam. Ada study Islam, kesehatan, perminyakan, sosiologi, dan entah apa lagi.
Mulanya, ide yang sedemikian “without-the box” pasti dinilai mustahil oleh sebagian besar orang. Mana bisa sekolah di pesantren berbiaya tidak mahal, jauh dari Jakarta, wali santrinya beragam kelasnya, ditambah lagi dengan kecerdasan santrinya juga tidak seragam?
Tapi, kiprah dan leadership Kiai mengatakan pertanyaan demikin salah. Kini, sudah 70% alumni SMK Bina Insan Mulia tersebar di beberapa kampus bagus di Mesir, Sudan, Oman, Turkey, China, Thailand, dan beberapa negara lain. 10 tahun ke depan, yakin sekali saya ada sejumlah doctor lulusan kampus terbaik di luar negeri dari alumni Bina Insan Mulia, baik dari SMK atau MAUBI (Madrasah Aliyah Unggulan Bertaraf Internansional).
Mendorong alumni untuk study ke luar negeri rupanya menjadi jawaban kenapa sejak awal Pesantren Bina Insan Mulia lebih memprioritaskan bahasa Inggris ketimbang bahasa Arab, padahal 99 % pesantren di Indonesia melakukan hal yang sebaliknya?
Tak hanya soal pilihan bahasa yang direvolusi. Tatanan kurikulum pun dirombak. Jam pelajaran dipotong, jumlah mata pelajaran dipangkas. Sisanya, santri diajar berpikir focus pada tujuan, cita-cita, atau visi melalui program yang telah disiapkan.
Dari interaksi saya dengan dunia pesantren sejak 1993, saya bisa pastikan Kiai Jazuli menjadi kiai terdepan yang menyadari pentingnya melakukan training secara rutin dan terprogram terhadap kualitas SDM para guru. Trainingnya terkadang di hotel, vila, atau di Pesantren.
Sejak lima tahun lalu, saya diminta untuk menjadi narasumber tetap bidang pengembangan soft skills untuk para guru dan pembimbing. Materinya dirancang dari motivasi, kompetensi, kerjasama tim, kepemimpinan, dan keorganisasian. Intinya, training tersebut dirancang sebagai bantuan untuk para guru agar menjadi tim yang berintegritas, smart, loyal, dan peduli.
Acara haul yang di pesantren lain diisi dengan ritual keagamaan full, tapi di Bina Insan Mulia total berubah. Agenda haul dirancang untuk memotivasi para santri di berbagai perlombaan, mengundang berbagai klub olahraga dan music dari Cirebon dan sekitarnya, mendatangkan para masyayikh dari Al-Azhar Kairo, atau tokoh nasional. Yang selalu di nanti masyarakat adalah kehadiran artis nasional dari ibu kota.
Sejak 2018, Pesantren Bina Insan Mulai juga membuka program baru yang “without the-box”, yaitu Pesantren Janda dimana saya termasuk di dalamnya. Pesantren Janda berangkat dari kepedulian Kiai untuk membekali para janda dengan keterampilan ekonomi, manajemen psikologis, dan pemantapan keimanan (spiritual).
INOVASI EKSTERNAL
Meski sudah memutuskan untuk tidak aktif secara praktis di organisasi apapun kecuali mengasuh Pesantren, tapi suara hatinya sebagai pejuang public tetap tidak terbendung. Kiai mengajak dunia pesantren untuk menyikapi realitas secara progresif dengan melakukan langkah-langkah inovatif. Kalau perlu harus revolusioner!
Menganugerahkan gelar doktor honoris causa pesantren (2017) adalah gebrakan awal yang mencengangkan dunai pesantren dan kampus. Saya menyebutnya sebagai the big bang! Bayangkan, sejak pesantren dikenal di nusantara 400 tahun lalu, baru ada satu kiai yang berpikir tentang ini.
Tentu, awalnya semua orang akan melihat ini sebagai pelanggaran atau sesuatu yang “meng-ada-ada”. Tapi, saya sebagai penerima pertama gelar itu, kami satu pemahaman. Honoris causa pesantren adalah simbol penghargaan yang mestinya perlu diberikan oleh santri-santri berprestasi di bidang ilmu pengetahuan dari pesantren. Kiai Jazuli mengajak pesantren-pesantren untuk menghidupkan tradisi ini.
Sampai hari ini, saya sangat nyaman dan ‘pede’ untuk menggunakan symbol penghargaan itu di sejumlah agenda perusahaan, kementerian, sekolah, atau kampus yang mengundang saya. Kebetulan, peserta training saya rata-rata S2.
Kiai juga mendorong kiai lain dan alumni pesantren yang telah memiliki kekuatan di masyarakat untuk melek politik. “Tidak satu pun ayat al-Quran yang ketika hendak dibumikan di alam realitas kecuali membutuhkan kekuatan politik, uang, budaya, dan manusia. Mana bisa kita shalat Jum’at kalau kita hidup di Korea Utara? Kenapa? Karena tidak punya kekuatan politik,” demikian kira-kira materi diskusi kami dalam berbagai kesempatan.
Berangkat dari pemikiran itulah Kiai menunjuk saya untuk ikut mendirikan Sekolah Politik Bina Insan Mulia. Sekolah ini telah mentraining ratusan tokoh masyarakat dari seluruh Indonesia dengan latar belakang partai yang bermacam-macam agar mereka menang dalam pertarungan politik sebagai legislator. Tujuannya adalah memperjuangkan kepentingan bangsa yang mayoritas umat Islam.
Semua orang tahu bahwa tidak semua gerakan dan gebrakan itu mendatangkan hasil yang langsung pada kemajuan, tapi tidak ada kemajuan yang tidak didahului gerakan dan gebrakan. Karena itu, almarhum Muhammad Iqbal mengatakan: diam itu mati. Saya doakan Kiai muda yang besar enerji inovasinya ini terus mempelopori berbagai pembaharuan di dunia pesantren di Indonesia.
*) Ubaydillah Anwar adalah heart intelligence specialist, alumnus Pondok Modern Gontor dan ICS Singapore, menulis lebih dari 1000 artikel tentang soft skills dan lebih dari 30 judul buku, dan aktif sebagai trainer dan speaker di sejumlah perusahaan, kampus, dan pesantren.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.