Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Dirjen Pajak Perlu Terapkan Sistem Manajamen Antipenyuapan

Korupsi yang terjadi di internal, terkait dengan praktek suap, kolusi atau nepotisme dalam penempatan pegawai atau pejabat di lingkungan pajak.

Tribunnews.com/ Chaerul Umam
Emerson Yuntho 

Oleh:
Emerson Yuntho
Wakil Direktur Visi Integritas

TRIBUNNERS - Dalam sambutan peringatan Hari Antikorupsi di Jakarta, Selasa (3/12) ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menumpahkan kekesalannya karena masih terjadinya praktik korupsi dan mafia pajak di lingkungan direktorat perpajakan.

Selain itu Sri Mulyani juga kesal karena belum semua Kantor Pelayanan Pajak menyandang predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) maupun Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).

Fenomena korupsi dan mafia di lingkungan pajak tidak saja membuat kesal Menteri Keuangan, namun tentu saja membuat kesal seluruh wajib pajak dan menjadi keprihatinan semua pihak. Korupsi dan mafia pajak sudah tentu membuat penerimaan Negara dari sektor pajak menjadi tidak maksimal/

Catatan VISI INTEGRITAS selama tahun sepuluh tahun terakhir tercatat sedikitnya 30 orang petugas atau pejabat dilingkungan institusi pajak yang tersangkut dalam perkara korupsi. Kasus korupsi tersebut ditangani oleh institusi Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.

Sebagian diantaranya sudah dinyatakan terbukti bersalah dan dipenjara serta sejumlah hartanya disita untuk negara. Sebut saja beberapa nama yang sempat mencuat ke publik seperti Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie dan Dhana Widiatmika. Nilai suap ataupun potensi kerugian Negara yang timbul sangat fantastis mulai dari ratusan juta hingga ratusan milyar rupiah.

Korupsi disektor perpajakan identik dengan praktek suap menyuap, perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Mereka yang berperan sebagai aktor korupsi disektor perpajakan adalah pegawai atau kepala kantor pajak, pejabat direktorat perpajakan, konsultan pajak, hakim dan pegawai pengadilan pajak, advokat, konsultan pajak, perantara dan wajib pajak.

Berdasarkan pemantauan VISI INTEGRITAS, praktek korupsi disektor perpajakan terjadi di dua wilayah, yaitu internal dan eksternal. Korupsi yang terjadi di internal, terkait dengan praktek suap, kolusi atau nepotisme dalam penempatan pegawai atau pejabat di lingkungan pajak.

Sedangkan korupsi dalam lingkup eksternal, berkaitan dengan praktek suap menyuap atau pemerasan antara oknum pegawai atau pejabat pajak dengan individu atau perusahaan selaku wajib pajak. Ada banyak pola atau modus korupsi yang muncul disektor perpajakan, namun setidaknya terdapat empat pola yang biasanya sering ditemukan.

Pola pertama adalah negoisasi pembayaran pajak. Akibat maraknya mafia pajak, muncul kecenderungan bahwa “sebagian wajib pajak lebih suka membayar “pajak” kepada petugas pajak daripada kepada Negara”.

Dengan adanya kongkalingkong, wajib pajak yang umumnya pengusaha atau perusahaan besar hanya perlu membayar kurang dari setengah atau kurang dari yang semestinya dibayar kepada Negara. Sedangkan oknum petugas pajak mendapatkan imbalan yang menggiurkan dari wajib pajak yang dibantunya.

Pola kedua, adalah petugas pajak menjadi “konsultan pajak” bayangan atau bekerjasama dengan konsultan pajak.

Dengan model ini oknum petugas pajak akan menerima imbalan atau bahkan gaji bulanan dari wajib pajak atau konsultan pajak yang merasa dibantu pekerjaannya.

Pegawai pajak akan memanipulasi laporan keuangan perusahaan atau wajib pajak sehingga beban kewajiban pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin.

Pola ketiga, adalah kolusi dengan hakim pengadilan pajak atau pejabat di lingkungan Direktorat Pajak agar perkara keberatan pajaknya dimenangkan. Praktek ini memperbesar peluang bagi wajib pajak untuk memenangkan sengketa pajak.

Pada sisi lain Pengadilan Pajak juga belum steril dari praktek korupsi. Data ICW menunjukkan selama tahun 2002 hingga 2009 dari 16.953 perkara keberatan pajak yang diperiksa dan diadili ke Pengadilan Pajak, sebanyak 13.672 berkas perkara atau sekitar 81 % dimenangkan oleh wajib pajak.

Kekalahan negara di pengadilan pajak memberikan konsekuensi pada hilangnya potensi penerimaan pajak yang harus diterima oleh negara.

Pola keempat, pejabat di lingkungan pajak mengabulkan keberatan pajak atau mengurangi beban wajib pajak dengan atau tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pola inilah yang diduga dilakukan oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak ketika mengabulkan keberatan pajak yang dilakukan oleh salah satu Bank Swasta. Sayangnya kasus yang menimpa Hadi Poernomo kemudian tidak jelas perkembangannya pasca KPK kalah dalam putusan praperadilan.

Sesungguhnya pasca mencuatnya skandal pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, Kementrian Keuangan sudah berupaya melakukan sejumlah pembenahan dan percepatan reformasi birokrasi dilingkungan dirjen pajak.

Gaji atau renumerasi untuk pegawai pajak bahkan sudah dinaikan untuk mendorong perbaikan kinerja dan mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Namun demikian pasca pembenahan dilakukan, toh masih saja ditemukan pegawai pajak yang nekat melakukan penyimpangan.

Untuk mencegah tumbuh suburnya praktik korupsi dan mafia di lingkungan perpajakan maka ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan.

Pertama, evaluasi secara menyeluruh program antikorupsi dan reformasi birokrasi di Direktorat Pajak. Hal ini penting agar institusi Pajak tidak lagi terjebak dalam lingkaran korupsi dan sekaligus mengembalikan citranya dimata masyarakat.

Kedua, mendorong Dirjen Pajak menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) ISO 37001: 2016 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan. Keberadaan SNI 37001 diharapkan dapat membantu instansi perpajakan dalam mencegah, mendeteksi dan menangani penyuapan di internal organisasi serta mematuhi perundang-undangan yang terkait dengan anti penyuapan dan komitmen sukarela yang sesuai dengan aktivitas standarisasi anti penyuapan.

Keberadaan SNI 37001 sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 dan Peraturan Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Salah satu rencana aksi pencegahan korupsi yang dimandatkan regulasi tersebut adalah penerapan manajemen anti suap di pemerintah dan sektor swasta.

Ketiga, membangun kesadaran kepada semua wajib pajak untuk tidak memberikan suap terhadap pegawai atau pejabat pajak. Tidak kalah pentingnya adalah seluruh pihak juga harus mengawasi, tidak hanya penggunaan pajak seperti yang selama ini dikampanyekan namun juga praktik pungutan pajak karena potensi penyimpangan yang timbul tidak kalah besarnya.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved