Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Dalil Syari Zikir Hu: Menjawab Ustadz Adi Hidayat dan Khalid Basalamah

Zikir Hu yang lazim di kalangan tarekat dituduh menyimpang dari Al Quran dan Hadis.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumnus Univeraitas al Azhar Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Wakil Ketua Rabithah ma'ahid Islamiyah- asosiasi pondok pesantren se Indonesia- Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) periode 2010-2015. 

Dalil Syar’i Zikir Hu: Menjawab Ustad Adi Hidayat dan Khalid Basalamah

Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

Merebaknya panggung hiburan merangsang ustad-ustad selebritis tampil tanpa ilmu pengetahuan. Ustad Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Yazid Abdul Qadir Jawaz, dan yang kelasnya selevel, mudah sekali berfatwa dengan merendahkan amalan orang lain.

Salah satunya zikir “hu” yang lazim dalam komunitas tarekat, dituduh menyimpang dari al-Quran dan Hadits.

Tentu saja ajaran ustad-ustad keblinger itu menyakiti hati umat muslim sekaligus menistakan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Bagaimana mungkin kita berpegang pada ujaran kebencian ustad-ustad selebritis itu, sementara kita memiliki ulama besar seperti misalnya Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Mulk bin Thalhah Abul Qasim al-Qusyairi as-Syafi’i al-Asy’ari adalah ulama besar di bidang fikih, tafsir al-Quran, hadits, ushul fiqih, bahkan sastra dan puisi.

Al-Qusyairi adalah pemimpin sufi dunia, yang menulis banyak kitab, seperti: ar-Risalah al-Qusyairiyah, Lathaiful Isyarat, Kitab al-Qulub al-Shaghir dan al-Kabir, Syikayat Ahkam al-Sima’, Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu, Diwan Syi’r, al-Qashidah al-Shufiyah, al-Haqaiq wa al-Raqaiq, Adab al-Shufiyah, Kitab al-Jawahir, Kitab al-Munajat, Risalah Tartib as-Suluk, Bulghah al-Qashid, Mantsurul Khitab fi Masyhurul Abwab, ‘Uyunul Ajwibah fi Ushul al-Asilah. Terakhir, kitab Syarh Asma Allah al-Husna, di mana al-Qusyairi menjelaskan nama-nama Allah berdasarkan dalil Sya’ri, seperti zikir “Hu” ini.

Jika ustad-ustad Wahhabi seperti Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Yazid Abdul Qadir Jawaz membutuhkan dalil syar’i tentang zikir “Hu”, maka bacalah kitab al-Qusyairi ini, tentang lima tingkatan kelas manusia: pertama, orang awam (al-awam). Orang awam adalah kelas terbawah, karena mereka membutuhkan penjelasan panjang lebar dan detail untuk mengerti tentang Allah swt. Ayat yang menjadi sandaran mereka adalah “Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Dan tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia,” (Qs. Al-Ikhlash: 3-4).

Kedua, saintis (al-‘uqala’). Golongan saintis ini lebih tinggi satu tingkat dari orang awam, karena mampu menerima penjelasan abstrak. Seorang saintis membutuhkan rasionalitas, dan salah satu ciri rasionalitas itu hukum sebab-akibat.

Segala sesuatu butuh sebab, dan Allah adalah sebab dari segala akibat. Allah adalah sebab/sandaran (al-shomad) dari segala “yang-ada”. Ayat yang menjadi sandaran kaum ilmuan ini adalah “Allah adalah Sandaran (al-Shomad),” (Qs. Al-Ikhlash: 2).
Ketiga, ulama (al-‘ulama). Hukum sebab-akibat sering tidak berlaku dalam kehidupan ini, di mana satu peristiwa kadang terjadi tanpa sebab yang terditeksi. Ilmuan sering kebingungan menjelaskan fenomena semacam itu.

Namun, kaum ulama yang kelas inteleknya lebih tinggi dari ilmuan mampu menerima dan memahaminya sebagai bentuk kuasa Allah swt. Allah swt Yang Maha Esa (Ahad) berada di balik segala “yang-ada”. Ayat yang menjadi sandaran kaum ulama ini adalah kata Ahad dalam “Katakanlah: Dia adalah Allah yang Ahad,” (Qs. Al-Ikhlash: 1).

Keempat, golongan pecinta (al-mutayyimun). Golongan ini jauh “melampaui” kelas saintis maupun ulama, karena akal tidak lagi menjadi sandaran, melainkan cinta dalam hati sebagai sumber pegangannya.

Tentu orang awam sudah tidak tahu apa-apa tentang rasa cinta kelompok ini, tetapi orang awam yang berhasil naik kelas ke golongan uqala’, lalu naik lagi ke golongan ‘ulama, baru ia bisa naik kelas ke golongan mutayyimun. Pegangan utama golongan keempat ini adalah kata Allah dalam ayat “Katakanlah: Dia adalah Allah,” (Qs. Al-Ikhlas: 1).

Kelima, golongan kekasih Allah (al-muhibbun). Lebih tinggi lagi dari mutayyimun adalah muhibbun. Kekasih Allah memiliki tingkat yang lebih tinggi karena cinta bersifat dialogis-interaktif; antara manusia dan Allah. Sedangkan cinta golongan mutayyimun masih bersifat monolog; satu arah, dari manusia ke Allah. al-Qusyairi mengatakan, golongan muhibbun ini sudah cukup dengan kata “Hu” atau “Dia” dalam ayat, “Katakanlah: Dia...” (Qs. Al-Ikhlas: 1). Kata “Hu” ini adalah nihatut tahqiq atau puncak tertinggi manusia menerima realitas Allah swt (Imam al-Qusyairi, Syarh Asma Al-Husna, Beirut: Dar Kutub Ilmiah, 1971, hlm. 63-64).

Dalam sejarah kegemilangan ilmu pengetahuan Islam memang harus diakui ada duri dalam daging. Mau tidak mau harus diterima sebagai kenyataan bahwa kehadiran Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah abad 14 M. adalah ganjalan.

Puritanisme Islam mulai disemai, dan kelak tumbuh subur di era kebangkitan gerakan Wahhabisme abad 18 M oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Intelektualisme didangkalkan, dan orang diperbolehkan belajar al-Quran al-Hadits tanpa memerlukan ilmu-ilmu bantu yang diperlukan.

Dalam kitab Majmu’ Fatawa, Syeikh Ibnu Taimiyah jelas dan terang mengatakan bahwa berzikir yang benar adalah dengan mengucapkan La ilaha illallah. Sedangkan orang yang berzikir dengan mengucapkan: “Ya Huwa..” atau “Huwa..” adalah bi’dah. Ibnu Taimiyah menggaris bawahi bahwa umat muslim tidak diperbolehkan berzikir dengan isim mufrad dari nama Allah (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, jilid 10, hlm. 226-229).

Ciri utama gerakan Wahhabisme ini memang memberangus habis ilmu pengetahuan sebagai cara mempelajari al-Quran. Salah satunya adalah ilmu Balaghah, yang di sana terdapat banyak pembahasan tentang tasybih, ijaz, ithnab, isti’arah, dan lainnya. Jika semua teori linguistik sastra Arab ini dipakai, tentu berzikir “Hu” sudah mencukupi untuk mengganti zikir “La Ilaha Illallah”. Kata “Hu” akan menampung makna “Allah”, “Ahad,” “as-Shomad,” dan “Lam yalid walam yulad walam yakun lahu kufuwan ahad”.

Karena dalam kata “Hu” ini teori-teori tasybih, ijaz, ithnab, dan isti’arah berlaku (Muhammad Mustofa Haddarah, Fil Balaghah al-Arabiyah: ‘Ilm al-Bayan, Beirut: Dar al-Ulum al-Arabiyah, 1989, hlm. 128-129).

Mengabaikan ilmu pengetahuan dalam mempelajari agama bukan saja berbahaya pada kalangan umat terbatas, umat muslim khususnya. Tetapi, perilaku semacam itu juga mengancam nilai-nilai kebangsaan dan kehidupan bernegara.

Pemahaman Islam yang sempit, dipelajari dengan cara yang sempit, mendorong umat bereaksi dengan cara-cara yang dangkal dan sempit. Ujaran kebencian atas nama agama, atau fatwa-fatwa entertain dari ustad-ustad selebritis, meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Pada saat bangsa-bangsa lain sudah meneliti ruang angkasa, kita masih berkutat dengan fatwa hukum halal-haram bermain catur, zikir “hu..hu”, “memilih jadi anjing Rosulullah,” dan entah apa lagi di masa depan. Nauzubillah.*

**alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved