Tribunners / Citizen Journalism
Capim KPK dan Kuda Troya
Para pegiat antikorupsi menolak polisi dan jaksa duduk di kursi pimpinan KPK periode 2019-2023 karena track records (rekam jejak) mereka kurang bersih
Editor:
Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Polemik tentang keberadaan polisi dan jaksa di unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti pertanyaan mana yang lebih dulu ada, ayam atau telur.
Hanya apabila sudah teridentifikasi bahwa telur itu adalah telur ayam maka jawabannya adalah ayam yang lebih dulu ada daripada telur. Itulah!
Para pegiat antikorupsi menolak polisi dan jaksa duduk di kursi pimpinan KPK periode 2019-2023 karena track records (rekam jejak) mereka kurang bersih.
Sebaliknya, Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) KPK berpendapat selama tak ada undang-undang yang melarang, maka polisi dan jaksa berhak duduk di kursi pimpinan KPK.
Salah satu peserta seleksi capim KPK yang berlatar hakim, Nawawi Pamolango, bahkan berpendapat polisi dan jaksa justru harus ada di unsur pimpinan KPK, karena sesuai Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK, pimpinan KPK adalah penyelidik, penyidik dan penuntut umum.
Baca: Pansel Godok 40 Capim KPK dengan Tahapan Profil Assessment
Pertanyaannya, status sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum itu harus disandang pimpinan KPK sejak sebelum menjabat atau ketika menjabat?
Di sisi lain, Pasal 45 ayat (1) UU KPK menyatakan, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Artinya, KPK dapat mengangkat dan memberhentikan penyidik tanpa memerlukan syarat harus berasal dari institusi kepolisian atau kejaksaan.
Penyidik KPK dapat berasal dari institusi atau jabatan profesional apa pun karena sifat kekhususan lembaga anti-rasuah ini.
Bahkan, Pasal 39 ayat (3) menyatakan, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai KPK.
Dengan diberhentikan sementara maka hubungan langsung polisi dan jaksa dengan instansi asalnya terputus selama menjadi pegawai KPK. Mereka harus bersikap independen, tidak bisa dipengaruhi atau diperintah instansi asalnya.
Tidak itu saja, Pasal 45 ayat (1) UU KPK juga menyatakan, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Alhasil, polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut berhak duduk di kursi pimpinan KPK.
Namun sebelum diangkat menjadi pegawai KPK mereka diberhentikan sementara dari instansi asalnya. Hubungan mereka dengan instansi asalnya pun mestinya terputus.
Di pihak lain, orang-orang yang berprofesi selain polisi atau jaksa pun berhak duduk di kursi pimpinan KPK, karena setelah diangkat menjadi pimpinan KPK mereka berstatus sebagai penyidik dan penuntut.
Artinya, tak ada keharusan polisi atau jaksa duduk di kursi pimpinan KPK, karena orang dengan latar profesi apa pun juga berhak.
Justru keberadaan polisi dan jaksa di kursi pimpinan KPK mendapat penolakan dari masyarakat, terutama pegiat anti-korupsi yang menganggap track records polisi dan jaksa tidak bersih.
Kuda Troya
Seleksi capim KPK kini menyisakan 40 kandidat yang akan maju ke tahap selanjutnya, yakni profile assessment test, dari 64 yang lolos dalam tahap tes psikologi atau psycho test dari 104 yang lolos dalam tes sebelumnya.
Tes profil asesmen ini untuk memperkuat psikotes yang telah dilakukan sebelumnya, melalui simulasi kelompok untuk melihat bagaimana sifat, leadership (kepemimpinan), kerja kelompok, profesionalisme, independensi, hingga tingkat stres para calon.
Tes profil asesmen ini dilakukan oleh pihak ketiga, Pansel Capim KPK hanya mengawasi. Dari tes ini akan tersaring 10 nama yang akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo pada 2 September 2019, dan selanjutnya Presiden Jokowi menyerahkan 10 nama tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).
Komisi III DPR RI akan memilih lima dari 10 nama tersebut untuk ditetapkan sebagai pimpinan KPK pengganti Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, Laode M Syarif dan Saut Situmorang.
Namun, dari 40 nama yang lolos psikotes itu, ada sejumlah nama yang dipersoalkan para pegiat antikorupsi.
Sebut saja misalnya Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wakabareskrim) Polri Inspektur Jenderal Antam Novambar yang diduga pernah mengancam bekas Direktur Penindakan KPK Kombes Endang Tarsa.
Lalu, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Firli Bahuri yang diduga bertemu terperiksa saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK, dan M Jasman Panjaitan, bekas jaksa yang diduga menerima uang dari terdakwa pembalakan hutan DL Sitorus (tirto.id, 8 Agustus 2019).
Lebih dari itu, mereka dikhawatirkan akan menjelma kuda Troya yang menyusup ke benteng pertahanan lawan untuk menghancurkan musuh dari dalam, sebagaimana pasukan Yunani menyusup ke kota Troya (kini Turki), seperti tersurat dalam puisi epos “Aeneid” karya penyair Romawi, Virgil (abad pertama SM), dan buku “Odyssey” karya Homer (725 SM).
Akankah mereka lolos ke kursi pimpinan KPK? Kita tunggu saja tanggal mainnya. Yang jelas, kasus “Buku Merah” yang diduga berkaitan dengan kasus teror terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan juga disebut-sebut merupakan bagian dari dugaan Kuda Troya di KPK.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, tinggal di Jakarta.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.