Tribunners / Citizen Journalism
''Seandainya Kita Bisa Belajar dari Sepak Bola . . .''
Sebenarnya bukan cuma dalam politik. Dalam kehidupan manusia yang luas pun kecurangan adalah sebuah keniscayaan.
TRIBUNNERS - Kecurangan itu sebuah keniscayaan dalam persaingan politik dengan sistem demokrasi. Begitu kata orang.
Sebenarnya bukan cuma dalam politik. Dalam kehidupan manusia yang luas pun kecurangan adalah sebuah keniscayaan.
Aturan dan hukum dibuat untuk menertibkan kehidupan sosial mengingat keniscayaan tersebut. Meski manusia dan kehidupan tak akan mencapai kesempurnaan sesuai dengan sifat hakikinya yang memiliki keterbatasan.
Belajar dari peristiwa 22 Juni 1986. Jagad Sepak Bola dunia pernah dibuat geger. Menit 51, Jorge Valdano (pemain tengah Argentina) mengirim umpan lambung ke depan gawang Inggris.
Baca: Copa America 2019 - Terancam Hadapi Messi dan Argentina, Fan Brasil Malah Senang
Baca: Striker Manchester United Pantang Menyerah Beri Kode demi Bermain di Liga Italia
Baca: Klasemen Sementara Setelah F1 GP Prancis 2019 - Hamilton Semakin Jauh di Depan
Diego Armando Maradona yang bertubuh kecil berduel di udara dengan Peter Shelton (kiper Inggris) yang berpostur jauh lebih tinggi.
Maradona memenangkan duel itu dan bola masuk ke gawang. Ribuan penonton Estadio Azteca Mexico sontak bersorak. Sesaat kemudian mulai heran tak percaya.
Bagaimana itu mungkin? Maradona bertubuh kecil dan hanya dibolehkan menggunakan kepala memenangkan duel udara dengan Peter Shelton yang bertubuh jangkung pun boleh menggunakan tangannya untuk menangkap bola.
Semua stasiun televisi mengulang terjadinya gol itu dalam gerak lambat. Nampak Maradona mengangkat tangannya di atas kepala. Itu hands ball.
Tapi wasit Tunisia, Bin Naser, yang tak melihat gerakan tangan Maradona tetap mensahkan gol tersebut. Inggris harus tersingkir dari final Piala Dunia 1986 dengan cara menyakitkan. Curang.
Beberapa waktu kemudian Maradona mengakui kalau dia menggunakan tangan dalam gol tersebut. Tapi Inggris tak pernah meminta Argentina didiskualifikasi atas kemenangan itu. Argentina menjadi juara Piala Dunia 1986 dengan kontroversi. Gilanya, gol itu malah dijuluki “Gol Tangan Tuhan”.
Satu hal perlu dicatat bahwa kesaksian wasit yang menjadi dasar keputusan wasit begitu dipatuhi semua pihak.
Lepas keputusan itu dibuat dengan kekeliruan wasit maupun segala keterbatasan penglihatan wasit. Tak ada hasil yang digugurkan.
Kedua, sesungguhnya kecurangan juga dilakukan oleh pemain kedua pihak. Menarik baju lawan, menyikut lawan, menjatuhkan lawan, melakukan diving untuk mendapatkan pinalti sampai mencuri gol off side.
Itu semua bukan direncanakan maupun diperintahkan oleh pelatih. Perintah pelatih adalah menerapkan taktik dan strategi di lapangan. Catatan ketiga adalah belajar dari keniscayaan adanya kecurangan sebagai bahan evaluasi. Karena itulah kini sepak bola menggunakan VAR (Video Aid Refree) untuk meminimalisir kecurangan.
Seandainya kita bisa belajar dari sepak bola, tentu kita semua akan mendapatkan bonus keputusan MK dalam hal perbaikan sistem Pemilu tanpa harus menggugurkan hasil yang dapat merusak kehidupan.
Tentu saja yang dimaksud adalah sepak bola dunia. Bukan sepak bola nasional yang kerap memukul wasit, memukul lawan, memukul official lawan bahkan memukul fans lawan. Sebuah kebebasan yang hanya dilakukan kaum Barbarian yang tak patut dicontoh.
Rajasa Brotodiningrat
Ketua Umum Paguyuban Rakyat Indonesia Raya (Paraindra)
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.