Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Rekayasa Sosial dalam Wacana Referendum Aceh

Menyeruaknya wacana referendum Aceh, belakangan, sesungguhnya menampilkan potret buram hegemoni politik yang berlangsung di tanah Rencong.

Istimewa
Amir Faisal. 

Namun, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, wacana referendum kali ini tidak dimulai dari aspirasi etno-nasionalisme dari lapisan bawah masyarakat. Malahan, wacana referendum dimulai dari gagasan seorang elit politik yang memiliki motif politik nan kompleks serta tampak panik kehilangan nilainya di tengah masyarakat.

Maka, jelas sudah isu referendum dihembuskan bukan untuk kepentingan masyarakat, namun sebagai katalisator kekecewaan Mualem terhadap dinamika politik yang terus menggusurnya dari panggung politik.

Hegemoni dan Pengabaian Konsensus

Desentralisasi Indonesia pasca demokratisasi 1998 membuahkan berkah bagi banyak daerah. Aceh, walaupun harus mengalami konflik sosial, pada akhirnya ikut mendapatkan otonomi daerah beserta keistimewaannya sendiri.

Sampai sekarang pun Provinsi Aceh disebut dengan nama khusus, Nanggroe Aceh Darussalam. Tentunya, nama itu tidak lahir dari ruang hampa, segala keistimewaan Aceh didapat dari konsensus demokrasi beserta berkah desentralisasi.

Namun, desentralisasi memiliki efek negatif. Salah satu efek negatifnya, yaitu potensi penyalahgunaan kekuasaan elit politik lokal. Di sini, penyalahgunaan kekuasaan bisa berujung pada munculnya aspirasi-aspirasi parokial.

Aspirasi parokial merupakan aspirasi terbatas yang diwakili oleh elit politik lokal dan diupayakan masuk dalam agenda publik pemerintahan. Kekhawatiran yang muncul dari situ, dominasi aspirasi parokial akan menggerus nasionalisme, dan semakin melupakan konsensus demokrasi yang sudah disepakati.

Dalam kasus referendum terkini, aspirasi parokial bisa menjurus pada separatisme demokratis. Wacana referendum, padahal sudah dilarang dalam sistem hukum Indonesia. TAP MPR Nomor VII tahun 1998 telah mencabut TAP MPR Nomor IV tahun 1993 tentang referendum.

Dengan demikian,, pernyataan untuk melakukan referendum jelas bertolakbelakang dengan UU dan inkonstitusional. Bertolak dari situ, ajakan-ajakan mengenai referendum seharusnya bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

Romo Mangun dalam bukunya yang berjudul Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan (1999) pernah mengatakan bahwa rakyat Indonesia kedepannya akan mengalami masa di mana retorika nasionalisme sempit marak digencarkan.

Maksud dari nasionalisme sempit ini adalah nasionalisme yang lebih mengedepankan negara daripada rakyat. Dengan kata lain, nasionalisme sempit bersandar pada semangat negara sebagai arus utama kebenaran.

Menyitir istilah Romo Mangun, dalam kasus referendum, Mualem dan elit politik Aceh tanpa disadari sedang menebarkan benih-benih etno-nasionalisme yang sempit. Etno-nasionalisme yang menjadi landasan referendum bukanlah upaya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, melainkan sekedar hasil egoisme politik akibat kekecewaan dalam kontestasi politik.

Maka, patut jika istilah etno-nasionalisme sempit ini disandangkan pada upaya referendum terkini.

Di situasi seperti ini, jarak antara elit dengan massa di Aceh terlihat menganga lebar. Bahkan di kalangan elit lokal sendiri terjadi perbedaan pendapat mengenai referendum.

Retorika mengenai ekonomi, dan kehancuran Indonesia pada dalih-dalih Mualem memperlihatkan elit politik pro-referendum ingin menggunakan politik ketakutan ke tengah masyarakat. Bisa jadi, ini semacam upaya pemaksaan relevansi bagi aspirasi parokial yang mencuat.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved