Tribunners / Citizen Journalism
Benarkah Indonesia 'Hamil Tua'?
Pemungutan suara Pemilu 2019 yang diharapkan menjadi klimaks atau titik didih dari panasnya suhu politik Tanah Air, ternyata tidak demikian adanya.
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Pemungutan suara Pemilu 2019 yang diharapkan menjadi klimaks atau titik didih dari panasnya suhu politik Tanah Air, ternyata tidak demikian adanya.
Pasca-pemilu 17 April 2019, tensi politik tak kunjung menurun signifikan.
Bahkan disinyalir ada gerakan bawah tanah yang bak api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Maka sedikitnya 60 ribu personel Brimob pun disebar di Jakarta.
Benarkah Indonesia dalam kondisi “hamil tua”?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei 2019.
Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 02 yang berpasangan dengan Saindiaga Uno, yang sementara ini tertinggal sekitar 13 juta suara berdasarkan Sistem Informasi Penghitungan (Situng) KPU, mengisyaratkan akan menolak hasil pemilu, dalam delapan poin pernyataan yang disampaikan di hadapan jurnalis-jurnalis asing di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Sinyal Prabowo menolak hasil pemilu sesungguhnya sudah terlihat saat mantan Komandan Jenderal Kopassus itu mengklaim kemenangan sepihak beberapa saat setelah pemungutan suara berakhir.
Bahkan klaim sepihak itu dilakukan empat kali disertai aksi sujud syukur. Prabowo mandasarkan klaimnya menang dengan suara 62% atas hasil penghitungan tim internalnya.
Kivlan Zein, mantan Kepala Staf Kostrad yang juga loyalis Prabowo, mengancam akan mengerahkan massa mendemo KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kamis (9/5/2019), untuk mendesak diskualifikasi pasangan capres-cawapres nomor urut 01, petahana Presiden Joko Widodo-KH Maruf Amin.
Sesungguhnya aksi demo terhadap KPU dan Bawaslu pun sudah dilakukan sebelumnya secara bergelombang, termasuk yang diikuti mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Amien Rais yang sebelumnya mengancam akan menggunakan kekuatan massa atau people power untuk menolak hasil pemilu.
Seruan yang sama dilontarkan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab dari Arab Saudi.
Menurutnya, Prabowo hanya bisa dikalahkan oleh kecurangan.
Pemilu 2019 pun dinilai penuh kecurangan, sehingga mereka mendesak agar penghitungan suara di KPU dihentikan. Mereka juga mendesak agar digelar pemilu ulang.
Di sisi lain, penangkapan sejumlah terduga teroris di Bekasi mengungkap informasi bahwa mereka akan meledakkan bom di tengah aksi massa bila people power itu terjadi.
Di pihak lain, selain mengerahkan Brimob ke Jakarta, pemerintah juga membentuk tim untuk mengawasi ucapan dan tindakan tokoh yang melanggar hukum.
Pemerintah dan aparat penegak hukum, kata Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, tidak akan segan-segan menindak tegas tokoh yang ucapan atau tindakannya melanggar hukum.
Pihak petahana pun menuduh kecurangan yang sama dalam pemilu dilakukan oleh pihak penantang.
Tapi baiklah, saling klaim kemenangan dan menuduh curang pihak lawan itu sah-sah saja sebagai bagian dari psy war atau perang urat syaraf dalam pemilu.
Yang tidak biasa adalah bila klaim itu tidak disertai data faktual, apalagi disertai tindakan yang berpotensi anarkis, seperti people power yang rawan ditunggangi pihak-pihak tak bertanggung jawab, termasuk teroris.
Yang tak biasa pula, bila pemerintah mencari-cari celah untuk menyerang balik lawan-lawan politiknya dengan regulasi yang berpotensi mengkriminalisasi, seperti pembentukan tim untuk mengawasi ucapan dan tindakan tokoh, yang bisa memicu abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Apa pun hasil pemilu, para pihak yang bertarung harus menerimanya. Mereka harus siap menang dan siap kalah, jangan hanya siap menang saja.
Bila ada kecurangan, laporkan ke KPU, Bawaslu dan bahkan Polri atau Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk menindaklanjutinya, jangan main tuduh tanpa data faktual.
Bila ada penyelenggara pemilu nakal, seperi anggota KPU atau Bawaslu melakukan kecurangan, silakan laporkan ke Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP).
Bila ada sengketa hasil pemilu, selesaikanlah melalui jalur hukum, dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan aksi massa. MK-lah yang akan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, serta siapa pemenang Pemilu 2019.
Kini, rakyat harap-harap cemas menanti 22 Mei 2019, ibarat menunggu kelahiran bayi dari seorang ibu yang hamil tua.
Bedanya, bila menunggu kelahiran bayi akan berbuah kebahagiaan, sebaliknya menunggu hasil pemilu bisa jadi akan berbuah malapetaka.
Rakyat khawatir menjadi korban tak berdaya, ibarat pelanduk di tengah dua gajah yang sedang bertarung. Peristiwa Malari (15 Januari) 1974, Kudatuli (27 Juli) 1996, dan 13 Mei 1998 pun mulai membayang.
Para investor pun setali tiga uang.
Merekawait and see, menunggu pengumuman hasil Pemilu 2019. Rencana investasi pun sementara ditangguhkan.
Bahkan ada di antara investor dalam negeri yang untuk sementara waktu “mengungsi” ke luar negeri, sambil harap-harap cemas menunggu 22 Mei 2019.
Wahai kaum elite, kalau memang benar kita mencintai rakyat, maka jangan pernah buat mereka harap-harap cemas.
Lontarkan pernyataan-pernyataan yang menyejukkan, bukan mengompori dan memprovokasi.
Pemilu adalah agenda politik lima tahunan yang merupakan peristiwa wajar dan biasa-biasa saja di negara demokrasi seperti Indonesia, maka jangan berlebihan dalam menyikapi hasilnya.
Siapa pun yang keluar sebagai pemenang, mereka adalah pemimpin pilihan rakyat, yang berarti pilihan Tuhan juga, karena suara rakyat adalah suara Tuhan atau vox populi vox Dei.
Kalau memang benar kita mencintai rakyat, gunakan kekuasaan yang kita dapat kini dan kelak secara amanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran pribadi, keluarga atau golongan, karena kekuasaan yang kita dapat sesungguhnya berasal dari rakyat, yang berarti dari Tuhan pula, sehingga harus dipertanggungjawabkan jepada Tuhan YME.
Tanpa rakyat, kalian bukan siapa-siapa!
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.